MAKALAH SOSIOLOGI
“KEBUDAYAAN
MASYARAKAT KAMPUNG NAGA”
SEBAGAI LAPORAN
HASIL OBSERVASI
DISUSUN OLEH:
NAMA:
1. ANISSA PUTRI PRADITA 4441131155
2. AAB SYIHABUDIN 4441131277
3. ARIE NUGRAHA 4441131274
4. DIANI LUPITASARI 4441131264
5. IIN INDRAWATI 4441131122
6. ISMI NURFIRKI 4441131117
7. M. HERLIX N. H 4441131273
8. OKTA TRI PUTRI 4441131169
KELAS : 1B
JURUSAN
AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2013
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang
dengan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Kebudayaan Masyarakat Kampung Naga”
ini dengan lancar. Sholawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad saw dan untuk para keluarga, sahabat dan pengikut -
pengikutnya yang setia mendampingi Beliau. Kami menyadari bahwa untuk mencapai hasil yang memuaskan tidaklah mudah,
karena keterbatasan kemampuan penulis baik dari segi ilmu maupun literatur,
sehingga makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu saran
dan kritik yang bersifat membangun, kami sangat harapkan untuk menuju ke arah
penyempurnaan makalah ini.
Makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, maka
sepatutnya kami menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya, kepada:
1.
Ibu Ari selaku dosen Mata Kuliah Sosiologi
2.
Kedua orang tua dan keluarga saya yang memberi motivasi, dorongan,
semangat dan do’a yang tidak henti-hentinya.
3.
Rekan - rekan seangkatan atas segala dorongan, saran dan komentar yang
diberikan selama pencarian referensi makalah ini hingga penyelesaian makalah
ini.
Bantuan dan pengorbanan semua pihak semoga mendapat pahala yang setimpal
dari Allah SWT. Semoga makalah ini bisa bermanfaat dalam mengembangkan menambah wawasan dan pengetahuan kami. Tidak gading
yang tak retak, demikian pula laporan makalah ini. Oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Serang, Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR
ISI………………………………………………………………… iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang………...…………………………………………...…….... 1
1.2.
Perumusan Masalah…………………….………………………………….
1
1.3.
Tujuan Penulisan…………………………………………………………..
1
1.4.
Manfaat Penulisan…………………………………………………..……. 2
BAB II. ISI
2.1.
Sejarah Kampung Naga……………………………………..……………. 3
2.2.
Penataan Lingkungan Kampung Naga…………………………………… 4
2.3.
Sosial, Ekonomi Dan Budaya…..………………………………………… 9
BAB III. KESIMPULAN
3.1.
Kesimpulan……………………………………………………………….
14
3.2.
Saran……………………………………………………………………...
14
LAMPIRAN.................................................................................................. 15
Bab I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Observasi ini dilakukan untuk melihat secara langsung budaya masyarakat kampung
naga, sehingga mahasiswa dapat meningkatkan wawasan tidak hanya di bangku
kuliah dengan teori dan konsep, tetapi dapat melihat realitas secara langsung
di lapangan, juga diharapkan mampu memilih unsur-unsur kebudayaan dan perilaku
masyarakat. Selain itu, mahasiswa mendapat wawasan tentang kondisi fisik, sosial, ekonomi
dan penataan lingkungan Kampung Naga.
Seperti diketahui bahwa Indonesia memiliki banyak bentuk masyarakat yang
antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki perbedaan masih memegang
teguh adat-istiadat dan kebudayaannya dengan sangat baik, salah satunya
masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya. Namun demikian masyarakat kampung
Naga ini tidak menutup diri dari dunia luar walaupun mungkin berbeda dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Melihat phenomena ini adalah wajar apabila
terdapat keinginan untuk mengenal lebih dekat tentang masyarakat kampung
Naga ini, dibidang penataan lingkungan perkampungan. Sehingga dengan fakta
tersebut mahasiswa perlu mengetahui keadaan yang ada di masyarakat kampung Naga
tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah
1.2.1. Apa saja adat istiadat yang terdapat di Kampung
Naga?
1.2.2. Dengan adanya
perkembangan zaman, adakah masalah-masalah sosial yang terjadi?
1.3.
Tujuan Makalah
1.3.1.
Pemenuh tugas
mata kuliah sosiologi umum.
1.3.2.
Untuk mengetahui
sejarah kampung naga.
1.3.3.
Untuk mengetahui
kebudayaan masyarakat kampung naga.
1.4.
Manfaat Makalah
1.4.1.
Memberi sumber
informasi dan bahan acuan mengenai bagaimana kebudayaan masyarakat kampung naga.
1.4.2.
Memberi
informasi mengenai lembaga-lembaga, permasalahan social yang terjadi di kampung
naga.
BAB II
ISI
2.1.
Sejarah Kampung
Naga
Sejenak mungkin terlintas dalam
pikiran kita, barangkali ketika mendengar nama Kampung Naga. Ternyata bentuk
asli dari kampung tersebut sangat berbeda dengan namanya, dan gambaran kita
tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak satupun naga yang berada di sana.
Nama Kampung Naga tu sendiri ternyata merupakan suatu singkatan kata dari
Kampung diNa Gawir ( red. bahasa sunda ) yang artinya adalah
merupakan kampung yang berada di lembah yang subur.
Kampung Naga adalah sebuah
kampung kecil, yang para penduduknya patuh dan menjaga tradisi yang ada, hal
inilah yang membuat kampung ini unik dan berbeda dengan yang lain. Tak salah
jika kampung ini menjadi salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia yang patut
dilestarikan.
Adapun beberapa versi sejarah yang
diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya, pada masa kewalian Syeh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana
ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke
daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya.
Di tempat tersebut, Singaparana oleh
masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia
mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana
mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut
Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran
versi sejarah tersebut, sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi.
Adapun beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber
diantaranya, pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama
Islam ke sebelah Barat.
Kemudian ia sampai ke daerah
Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga
disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk
harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia
harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi
masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah
Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di
sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga
sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat
bagi semua keturunannya.
Kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut, sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi. Pada saat kejadian pareumun obor bermula saat ada segerembolan orang-orang yang dengan sengaja membakar kampung tersebut karena terjadi suatu permasalahan. Kejadian tersebut pula memakan banyak korban.
Kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut, sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi. Pada saat kejadian pareumun obor bermula saat ada segerembolan orang-orang yang dengan sengaja membakar kampung tersebut karena terjadi suatu permasalahan. Kejadian tersebut pula memakan banyak korban.
2.2.
PENATAAN LINGKUNGAN KAMPUNG NAGA
2.2.1. Letak Geografis
Kampung Naga secara administratif
berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya,
Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang
menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah
yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh
hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat
Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan
disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber iarnya
berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.
Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung
Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26
kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya
harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda sengked) sampai ketepi sungai
Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter.
Pada seratus anak tangga pertama, kita akan melihat beberapa bangunan permanen
dan non permanen rumah masyarakat luar Kampung Naga dan beberapa kios yang
menjual suvenir Kampung Naga atau khas Tasikmalaya dan pemandangan deretan
pohon bambu, pohon eboni, dan pohon albasia. Seratus anak tangga berikutnya
akan menikmati pemandangan alam berupa sawah-sawah dengan aliran-aliran airnya,
sedangkan pada seratus anak tangga terakhir, kita dapat melihat beberapa atap
rumah adat ciri khas masyarakat Kampung Naga yang seluruhnya berwarna hitam
(berasal dari ijuk), aliran dan suara Sungai Ciwulan yang deras, petak-petak
sawah, dan bukit Gunung Cikuray (lokasi Kampung Naga berada di lembah Cikuray)
yang rindang oleh tumbuhan dan pepohonan. Kemudian melalui jalan setapak
menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.
Adapun batas wilayahnya :
- Di
sebelah Barat adalah hutan keramat (yang didalamnya terdapat makam leluhur
masyarakat Kampung Naga).
- Di
sebelah Selatan sawah-sawah penduduk
- Di
sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal
dari Gn.Cikuray di daerah Garut.
2.2.2. Kondisi
Fisik
Menurut data dari Desa Neglasari,
Struktur tanah pada area kawasan Kampung Naga berbukit-bukit
sehingga perkampungan atau pemukiman masyarakatnya dibangun diatas tanah
yang tidak rapi dan untuk mencegah kelongsoran dibentuk sengkedan yang
terbuat dari bata/batu. Pemukiman pada masyarakat Kampung Naga berbentuk
mengelompok biasanya bentuk pemukimannya dibatasi oleh pagar dari
bambu yang memisahkan daerah pemukiman dengan daerah yang dianggap kotor. Baik
dari segi bangunan, bahan dan arahnya, pemukiman pada masyarakat Kampung
Naga menunjukkan adanya keseragaman. Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga
berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.Luas
tanah Kampung Naga yang ada seluas 1,5 ha,sebagian besar digunakan untuk
perumahan,pekarangan, koam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang
dipanen satu tahun dua kali.
2.2.3. Pola
Pemukiman
Pola pemukiman Kampung Naga
merupakan pola mengelompok yang disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada
dengan sebuah lahan kosong (lapang) di tengah-tengah kampung. Pola perkampungan
seperti Kampung Naga bisa jadi merupakan prototype dari pola perkampungan
masyarakat Sunda, walaupun di sana sini terjadi perubahan. Adanya kolam,
pancuran, saung lisung, rumah kuncen, bale, rumah suci, dan sebagainya,
menunjukkan ciri-ciri pola perkampungan Sunda. Demikian juga bentuk rumahnya. Jika dicermati dengan seksama,
bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap
ijuk, dan menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam
area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu
juga terdapat balai pertemuan dan lumbung padi (Leuit) dan Bumi Ageung yang
kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain.
Tidak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan
bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan
yang ada di daerah tersebut.
Masyarakat Kampung Naga membagi
peruntukan lahan ke dalam tiga kawasan, yaitu:
1.
Kawasan Suci
Kawasan suci adalah sebuah bukit
kecil di sebelah barat pemukiman yang disebut Bukit Naga serta areal hutan
lindung (leuweung larangan) persis di tikungan tapal kuda di timur dan barat
Sungai Ciwulan. Sebagaimana hutan lindung, Bukit Naga juga sebuah hutan, berupa
semak belukar yang ditumbuhi pohon-pohon kecil dan sedang, dan dianggap hutan
tutupan (leuweung tutupan atau leuweung karamat). Dalam hutan di Bukit Naga
inilah ditempatkan tanah pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk didalamnya
makam para uyut.
2. Kawasan Bersih
Kawasan bersih bisa diartikan
sebagai kawasan bebas dari benda-benda yang dapat mengotori kampung. Baik dari
sampah rumah tangga maupun kotoran hewan, seperti kambing,sapi atau kerbau,
terutama anjing. Kawasan ini berada dalam areal pagar kandang jaga. Di dalam
kawasan bersih, selain rumah, juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi
ageung, masjid, leuit, dan patemon.
a. Bumi
Ageung
Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai
ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan perumahan warga, akan tetapi
memiliki fungsi dan arti yang sangat besar. Bangunan ini memiliki sifat sakral,
karena dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan dijadikan
tempat tinggal tokoh yang paling tua usianya diantara warga Kampung Naga
lainnya, yang dianggap keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral
ini terletak pada teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat sunyi dan
berpagar tinggi terbuat dari bambu dan dirangkap dengan pagar hidup dari
hanjuang.
b.
Masjid dan Bale patemon
Masjid dan bale petemon Kampung Naga
terletak di daerah terbuka (openspace). Rincinya kedua bangunan tersebut berada
di depan lapangan milik warga masyarakat Kampung Naga. Masjid dan bale patemon
merupakan dua bangunan yang terletak di kawasan bersih yaitu di sekitar rumah
masyarakat. Masjid di Kampung Naga tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat
ibadah atau tempat menuntut ilmu agama. Lebih dari itu, fungsi Masjid Kampung
Naga juga sebagai tempat awal dan akhir dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih.
Jadi, selain sebagai fungsi tempat ibadah, masjid juga memiliki fungsi lain
yaitu tempat pelaksanaan ritual adat. Sementara bale patemon mempunyai
fungsi sebagai tempat musyawarah milik masyarakat Kampung Naga.
c. Leuit / lumbung padi
Leuit (lumbung), merupakan bangunan
yang terletak di sekitar perumahan milik warga Kampung Naga. Leuit berfungsi
untuk menyimpan padi hasil panenyang disumbangkan warga. Padi-padi tersebut
biasa digunakan manakala ada kegiatan-kegiatan baik itu acara ritual maupun
yang lainnya misalkan pemugaran Masjid, bale patemon dan sebagainya. Bangunan
leuit ditempatkan di sektor perumahan jadi masuk ke dalam kawasan bersih
milik masyarakat Kampung Naga. Sebelum padi dimasukkan ke dalam leuit padi
dijemur terlebih dahulu sampai kering dan siap untuk ditumbuk.
d.
Rumah warga
Ciri khas permukiman Kampung Naga
yaitu seluruh bangunan menghadap utara dan selatan. Arah selatan menghadap
Sungai Ciwulan dan arah utara menghadap ke arah hutan (bukit Cikuray),
sedangkan seluruh muka bangunan (pintu rumah) adalah menghadap arah selatan.
Jumlah bangunan masih dimungkinkan bertambah asalkan masih dalam batas-batas
wilayah kampung. Penambahan bisa dilakukan ke arah batas timur berupa Sungai
Ciwulan, sedangkan untuk batas utara (bukit/hutan), selatan (parit/saluran
air), dan barat (parit/saluran air) sudah tidak bisa bertambah karena sudah
pada batas maksimal.
Seluruh bangunan, baik rumah, ruang
pertemuan, dan mesjid terbuat dari bilik bambu kepang dan sasak. Bilik sasak
diutamakan digunakan di ruang dapur. Manfaatnya adalah agar saat memasak dapat
mengalirkan udara (ventilasi), selain itu juga berguna dalam keadaan darurat
seperti kebakaran karena bilik sasak dapat terlihat dari luar (terlihat ada
lobang atau pori-pori). Atap bangunan terbuat dari 2 (dua) lapis, yaitu lapis
pertama berasal dari daun alang-alang dan lapis kedua (terluar) terbuat dari ijuk/pohon
aren. Lapisan ini dapat bermanfaat dalam penyerapan hawa panas ataupun dingin,
selain menyerap asap kompor saat memasak.
Seluruh bangunan rumah memiliki ciri
yaitu berupa ”tanda angin”. Tanda ini digantung di pintu depan. Menurut Bapak
Ucu ini tanda ini berguna untuk menolak bala atau menolak sesuatu yang
buruk/musibah bagi penghuni rumah. Tanda angin yang dipajang di depan rumah
berasal dari tumbuh-tumbuhan yang didapatkan dengan beberapa syarat ritual dan
dari beberapa tempat. Warna bangunan sebagian rumah adalah berwarna putih yang
terbuat dari bahan batu kapur. Seluruh rumah tidak ada yang menggunakan bahan
kimia agar dapat mempertahankan sifat alami bangunan rumah. Kampung ini menolak
aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan
bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi
kebakaran.
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan
perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai
daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung
Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar
melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu
menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurusLokasi
sekitar Kampung Naga yang lembab (karena berada di sisi sungai dan lembah)
menyebabkan kelembaban yang cukup tinggi sehingga bangunan yang mereka bangun
dibuat dengan model panggung yang tingginya sekitar + 50 cm dari tanah. Bentuk
rumah ini juga berguna dalam menahan getaran gempa karena lebih fleksibel dan
pondasi yang kuat untuk menahan getaran karena berasal dari batu kali.
3. Kawasan
kotor
Yang dimaksud kawasan kotor adalah
kawasan yang peruntukkannya sebagai kawasan kelengkapan hidup lainnya yang tidak
perlu dibersihkan setiap saat. Kawasan ini permukaan tanahnya lebih rendah dari
kawasan pemukiman, terletak bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam
kawasan ini antara lain terdapat pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung
lisung, dan kolam.
a.
Saung lisung/ tempat menumbuk padi
Saung lisung, merupakan tempat
masyarakat Kampung Naga menumbuk padi. Bangunan ini dibuat terpisah
dari perumahan, yaitu dipinggir (atau diatas) balong (kolam ikan). Hal ini
bertujuan agar limbah yang dihasilkan dari saunglisung yaitu berupa huut
(dedak) dan beunyeur (potongan-potongan kecil dari beras) langsung masuk
ke kolam dan menjadi makanan ikan. Dengan demikian, praktis limbah yang
dihasilkan tidak mengotori sektor bersih (perumahan) milik warga. Demikian
juga dengan kandang ternak. Kandang tersebut ditempatkan diatas balong yang
langsung bersisian dengan sungai Ciwulan. Limbah yang dihasilkan kandang
tersebut ditampung ke balong atau langsung dialirkan kesawah-sawah milik warga.
b.
Pancuran,
pacilingan atau tampian
Pancuran, pacilingan atau tampian
(jamban) merupakan suatu bangunan yang ukurannya bervariasi antara satu sampai
empat meter bujur sangkar. Dinding bangunan tersebut terbuat dari
bilahan-bilahan pohon enau atau bambugelondongan yang dirakitkan. Pancuran ini
kadang diberi atap (ijuk dan daun tepus) atau dibiarkan terbuka. Airnya
dialirkan melalui pipa-pipa yang terbuat dari bambu gelondongan. Ketinggian
jatuhnya air ke lantai jamban sekitar 60-100cm. Aliran air yang demikianlah
yang dikenal masyarakat Sunda dengan sebutan pancuran. Air pancuran langsung
disadap dari selokan air atau lebih langsung lagi dari seke atau sumur (mata
air). Pancuran ditempatkan diatas balong-balong dengan ketinggian
dari permukaan air balong sekitar 0,25 sampai 0,50 meter. Dengan demikian,
semua kotoran langsung jatuh ke dalam balong sebagai makanan ikan dan
penyubur lumpur balong. Lumpur balong yang subur ini sekali atau dua kali
dalam setahun dialirkan masyarakat ke sawah. Jelasnya balong tersebut memiliki
fungsi yang banyak diantaranya adalah: sebagai tempat pemeliharaan ikan,
digunakan sebagai tempat MCK, sebagai tempat penghancur kotoran, sebagai
penyimpanan pupuk untuk menambah kesuburan sawah-sawah di sekitarnya.
2.2.4. SUMBER
AIR
Air untuk kebutuhan kampung Naga
bersal dari dua sumber yang dialirkan melalui buluh bamboo, air dari mata air
di sebelah Selatan kampung digunakan hanya untuk minum dan memasak, sedangkan
untuk keperluan
mandi, MCK, wudhu, berasal
dari sungai Ciwulan dan air permukaan yang melewati sawah masuk ke bak – bak
penyaringan untuk dialirkan ke bak air wudhu dan jamban.
2.3.
SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA
2.3.1.
Jumlah
Penduduk
Penduduk yang menghuni kampung ini sekarang berjumlah 314 orang
yang terbagi dalam 109 Kepala Keluarga (KK).
2.3.2.
Sistem
Pendidikan ( Ilmu Pengetahuan )
Tingkat Pendidikan masyarakat
Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar, tapi
adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya
minoritas. Kebanyakan pola pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa
buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga dan mereka
juga terbentur oleh biaya apabila ingin melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi. Dari anggapan tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar dari
pengalaman dan dari alam atau kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid
atau aula.
2.3.3.
Sistem
Kemasyarakatan
Kemasyarakatan di Kampung Naga masih
sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan
kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi.
Lebih jauh menilik pola hidup dan
kepemimpinan Kampung Naga, kita akan mendapatkan dua pemimpin dengan tugasnya
masing – masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh
masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu
sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Sang Kuncen yang meski begitu
berkuasa dalam hal adapt istiadat jika berhubungan dengan system pemerintahan
desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW
haruslah taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adapt istiadat dan
kehidupan rohani penduduk Kampung Naga.
Ø Lembaga Pemerintahan
Sistem kemasyarakatan disini lebih
terfokus kepada sistem atau lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di Kampung
Naga. Ada dua lembaga yaitu :
§ Formal, yang terdiri dari:
·
RT
·
RK
/ RW
§ Non formal
·
Kudus ( Kepala Dusun )
Ø Lembaga Adat
Biasanya pemegang jabatan di lembaga
adat itu seumur hidup dan apabila pemegang adat tersrbut meninggal maka jabatan
tersebut akan diwariskan kepada keturunanya.
Lembaga adat terdiri dari:
·
Kuncen dijabat oleh Bapak Ade
Suherlin yang bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara adat dalam
berziarah.
·
Punduh dijabat oleh Bapak Ma’mun
·
Lebe dijabat oleh Bapak Ateng yang
bertugas mengurusi jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam.
2.3.4.
Sistem
Perekonomian Masyarakat Kampung Naga
Dalam sistem perekonomian kami
fokuskan kepada mata pencaharian dimana mata pencaharian warga Kampung Naga
bermacam-macam yaitu:
v Bertani, menanam padi umur 6 bulan (
1 tahun 2 kali panen) untuk awal penanaman dimualai pada bulan janli (januari
dan juli). Saat penanaman para petani menggunakan 2 pupuk, yaitu pupuk organik
dan pupuk kimia.
v Membuat kerajianan tangan untuk
penambahan hasil produksi.
v Ternak ayam, ikan, biri-biri,
kambing.
v Jualan makanan ringan.
Namun untuk sekarang karena sudah
tersentuh arus modernisasi sebagian masyarakat Kampung Naga ada yang merantau
ke Jakarta dan Bali menjadi karyawan dan pedagang. Kadang mereka kembali
setelah beberapa tahun dirantau atau pada saat idul fitri.
2.3.5.
Kesenian
Di bidang kesenian masyarakat
Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis
kesenian dari luar Kampung Naga seperti: wayang golek, dangdut, pencak silat,
dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian
yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan,
angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan,
sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi
muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut
dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.
Terdapat tiga pasangan kesenian di
Kampung Naga diantaranya :
- Terebang Gembrung yang dimainkan oleh dua orang sampai tidak terbatas biasanya ini dilaksanakan pada waktu Takbiran Idul Fitri dan Idul Adha serta kemerdekaan RI. Alat ini terbuat dari kayu.
- Terebang Sejat, dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan pada waktu upacara pernikahan atau khitanan massal.
- Angklung, dimainkan oleh 15 orang dan dilaksanakan pada waktu khitanan massal
2.3.6.
Sistem
Kepercayaan ( Religi )
Penduduk Kampung Naga Mengaku
mayoritas adalah pemeluk agama islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat
lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek
moyangnya.
Menurut kepercayaan masyarakat
Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti
menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari
ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya
dianggap sesuatu yang tabu.
Apabila hal-hal tersebut dilakukan
oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun,
hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Masyarakat Sanaga pun masih
mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib yang mengisi tempat –
tempat tertentu yang dianggap angker.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga
kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk
halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam
(“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau
menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak”
yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia
suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan
tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh
masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget.
Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung
dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat
Kampung Naga
Berikut adalah Upacara Adat
yang masyarakat Kampung Naga sering selenggarakan:
1.
Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu,
dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat
penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan.
Oleh sebab itu jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat waktu
pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing
orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang
segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga
Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga
untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan
menimbulkan malapetaka.
2.
Hajat
Sasih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan
oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga
maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk
memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna
serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang mahaesa atas segala nikmat yang
telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal
sebagai berikut:
- Bulan Muharam untuk menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah ( pada tanggal 26, 27, 28)
- Bulan Maulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (pada tanggal 12,13,14)
- Bulan Jumadil Akhir untuk memperingati pertengahan bulan Hijriah
- Bulan Nisfu Sya’ban untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan (pada tanggal 16, 17, 18)
- Bulan Syawal untuk menyambut datangnya Idul Fitri (pada tanggal 14, 15, 16)
- Bulan Zulhijah untuk menyambut datangnya Idul Adha (pada tanggal 10, 11, 12)
3.
Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat
Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah.
adapun tahap-tahap upacara tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer,
nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar
(berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
2.3.7.
Peralatan
Hidup Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat Kampung Naga merupakan
masyarakat yang masih menggunakan peralatan ataupun perlengakpan hidup yang
sederhana, non teknologi yang kesemua bahannya tersedia di alam. Seperti untuk
memasak, masyarakat Sanaga menggunakan tungku dengan bahan bakar menggunakan
kayu bakar dan untuk membajak sawah mereka tidak menggunkan traktor melainkan
menggunakan cangkul. Dan masih banyak hal lainnya, yang pasti masyarakat Sanaga
tidak menggunakan peralatan canggih berteknologi tinggi, dan kampung mereka pun
tidak ada listrik.
2.3.8. Sistem Bahasa
Dalam berkomunikasi warga Kampung
Naga mayoritas menggunakan bahasa Sunda Asli, hanya sebagian orang dalam arti
yang duduk di pemerintahan. Adapula yang bisa berbahasa Indonesia itupun hanya
digunakan apabila bercakap – cakap dengan wisatawan dari luar jawa barat.
2.3.9.
Sistem
Politik
Dalam sistem politik di tekankan
pada penyelesaian masalah di pimpin oleh ketua adat yaitu dengan cara
bermusyawarah untuk mufakat dimana hasi yang diperoleh adalah merupakan hasil
mufakat yang demokratis dan terbuka.
2.3.10. Sistem Hukum
Seperti kebanyakan kampung adat
lainnya, masyarakat Sanaga juga memiliki aturan hukum sendiri yang tak
tertulis namun masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung
Naga memang memiliki Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang
mereka anut adalah Larangan, Wasiat dan Akibat.
Sistem hukum di kampung Naga hanya
berlandaskan kepada kata pamali, yakni sesuatu ketentuan yang telah di tentukan
oleh nenek moyang Kampung Naga yang tidak boleh di langgar. Sanksi untuk
pelanggaran yang dilakukan tidaklah jelas, mungkin hanyalah berupa teguran,
karena masyarakat Sanaga memegang prinsip bahwa siapa yang melakukan
pelanggaran maka dia sendiri yang akan menerima akibatnya.
Tabu, pantangan atau pamali bagi
masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam
kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas
kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak
tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya
tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara,
kesenian, dan sebagainya.
Bab III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Kampung Naga merupakan perkampungan
tradisional dengan luas areal kurang lebih 1,5 ha. Kampung Naga secara
administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Kampung ini berada di lembah yang subur,
dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat
karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga.
Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan
timur dibatasi oleh sungai Ciwulan.
Di luar itu semua, Kampung Naga
pasti akan menyuguhkan nuansa lain dari Wisata Budaya manapun. keberadaan
kampung Naga ibarat oase pada jaman yang semakin memiskinkan nilai-nilai.
Kampung Naga sampai saat ini merupakan benteng bagi nilai-nilai tradisi dan
kearifan budaya masyarakatnya.
Arus modernisasi tidak bisa
dihindari, cepat atau lambat pasti mempunyai pengaruh dan menimbulkan berbagai
perubahan kehidupan sosial, tidak terkecuali di pelosok desa terpencil
sekalipun dan kampung naga juga yang dulunya tidak pernah tersentuh arus
modernisasi sekarang sudah terlihat adanya arus modernisasi mulai tumbuh di
berbagai bidang di kehidupan masyarakat kampung naga yaitu bidang mata
pencaharian, bidang pendidikan, bidang teknologi, bidang kesenian, bidang
bahasa, dan bidang perilaku, pakaian dan alat keseharian. Bahkan yang paling menonjol
adalah Saat ini,kehidupan masyarakat Kampung Naga sudah sangat dekat dengan
kehidupan moderen. Buktinya, ketika memasuki kawasan Kampung Naga, kita bisa
melihat beberapa antene TV menjulang tinggi. Beberapa rumah sudah memiliki TV,
dan radio serta telepon genggam.
3.2.
Saran
Kampung Naga tentunya telah berusaha
keras untuk mempertahankan tradisi adat istiadatnya di tengah arus globalisasi
dan mereka telah membuktikan bahwa dirinya mampu. Sekarang adalah kita untuk
turut serta melestarikan kebudayaan mereka dan kebudayaan Nusantara lainnya
dengan memperkenalkannya kepada generasi – generasi secara turun temurun karena
kebudayaan – kebudayaan inilah yang telah memperkaya khasanah budaya Indonesia.
LAMPIRAN