“teng, teng, teng” lonceng
sekolah telah berbunyi, pertanda kegiatan belajar mengajar pun telah
usai, beberapa Murid dari kelas lain sudah keluar kelas terlebih dahulu,
ekspresi ceria terlihat di wajah-wajah Mereka, sepertinya Mereka ingin
bergegas pulang ke rumah. Namun di salah satu kelas terlihat semua Murid
masih mengemas alat tulisnya, memasukan perlengkapan alat tulis
menulis, seperti buku pelajaran, pulpen, pensil dan penghapusnya kedalam
tas. Begitupun dengan Dania, masih sibuk memasukan perlengkapan
menulisnya yang tergeletak diatas meja. Dania adalah salah satu Murid
yang bersekolah di SMPN 2 Tarogong, Garut, Jawa Barat. Sekarang, Ia
duduk di bangku kelas dua, terhitung sudah enam bulan Ia duduk dibangku
kelas dua, namun Ia belum bisa mengakrabkan dirinya dengan Murid-murid
yang lain. Dania bukan termasuk kriteria gadis yang supel dan bisa
menyapa semua orang yang belum dikenalnya. Tak lama Guru yang masih
berada di dalam kelas mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan ruang
kelas, diikuti oleh segerombolan Murid-muridnya. Kini ruang kelas
terlihat sepi dengan kondisi hanya ada beberapa orang di dalamnya, satu
persatu dari Mereka pun keluar ruang kelas untuk pulang.
“Dania,
mau pulang bareng ga?” tanya salah satu teman Dania, saat melihat Dania
sedang berdiri di samping kursi sembari membenahi posisi tas ransel yang
dikenakannya. Dania mengenalnya sebagai Tami, salah satu Gadis paling
ramah dikelas. Tami adalah teman pertama yang membuatnya merasa nyaman.
Dania dan Tami, mereka selalu bersama kemana pun pergi, mulai dari makan
bersama, ke kantin bersama, ke perpustakaan bersama, terkadang Mereka
pun pulang bersama, sehingga muncullah sebuah pribahasa “Dimana ada
Dania disana ada Tami”. Kebersamaan Mereka yang baru seumur Jagung belum
bisa dibilang mencapai tahap Persahabatan karena Mereka masih saling
menutupi mengenai permasalahan pribadinya, termasuk permasalahan
keluarga.
Dania yang telah selesai membenahi tas ranselnya menoleh
kearah Tami yang berada dibelakangnya. “Apa?” ucap Dania sambil menatap
mata Tami, dia lupa apa yang baru saja Tami ucapkan. “Oh, pulang bareng
yah?, nanti yah cek ponsel dulu yah, khawatir ada sms dari Ayah” lanjut
Dania ketika Ia mulai ingat apa yang dikatakan Tami.
Tami hanya
mengangguk, menunggu jawaban dari Dania. Pandangan Tami menyapu seluruh
isi ruangan, tatapan matanya terhenti pada seorang siswi yang baru saja
beranjak dari kursinya dan segera keluar kelas. Tami mengambil kursi di
dekatnya dan Ia duduk diatasnya.
Dania mengambil ponsel di dalam
tas. Ia menatap layar ponsenya, ternyata ada 2 pesan dan satu panggilan
yang tidak terjawab, itu semua dari Ayah. Salah satu isi pesannya
“Dania, Ayah ga bisa jemput, ayah lagi banyak kerjaan, kamu bisa kan
pulang sendiri?” dan yang lain “Dania, kalau mau pulang bilang dulu sama
Ayah”.
Dania mencoba berkali-kali menelpon Ayahnya namun tak
kunjung diangkat, Dania melirik kearah Tami, Tami yang sedari tadi
memperhatikan tingkah laku Dania pun menatap dengan bertanya-tanya,
Dania hanya menggelengkan kepalanya, akhirnya Dania memutuskan untuk
mengirim pesan singkat kepada Ayahnya “Ayah, Dania pulang bersama Tami
jadi Ayah tidak usah jemput Dania” dengan setengah gusar, Dania
memasukan kembali ponsel kedalam tas.
“Dania yuk pulang, liat
kelas udah sepi, tinggal kita berdua yang belum pulang” ajak Tami
setelah menunggu beberapa menit, tanpa jawaban dari Dania, Ia sudah
mulai bosan menunggu, Tami berdiri, bangun dari kursi.
“Aku
khawatir hujan akan segera turun, langit sudah mulai mendung tuh” lanjut
Tami sambil melihat keluar ruang kelas, langit sangat gelap, angin
kencang mengoyahkan pepohonan membuat dedaunan gugur dari pohonnya,
berserakan di sekitar koridor kelas bahkan ada yang masuk ke dalam
kelas. Dania mengikuti arah sorot mata Tami, menatap keluar kelas.
Dania menarik tangan Tami, berlari ke keluar kelas, Mereka menuju
gerbang sekolah, tempat dimana Mereka harus menunggu Bus.
Mereka
melambaikan tangan, memberhentikan saat melihat bus yang mereka ingin
naiki telah datang, Mereka melangkah ke dalam bus, bus ini cukup sepi,
hanya ada beberapa orang disana. Dania memilih bangku di pertengahan dan
duduk berdekatan dengan jendela, diikuti Tami yang duduk disebelahnya.
Hembusan
angin terasa sangat kencang, membuat Dania berkali-kali harus
merapihkan kerudungnya yang tertiup angin, Ia menyandarkan kepalanya ke
jendela, menatap keluar jendela. Awan mendung, hitam tampak sedang
berjalan menuju tempat yang tepat untuk menurunkan semua beban yang
terkandung didalamnya, air. Beberapakali terlihat kilat yang menyambar,
tanpa suara.
Douuaaar! kilat
yang sangat keras membuat semua penumpang tersentak kaget, air dari
langit turun setetes demi setetes berjatuhan hingga akhirnya tumpah
sangat deras, tangan Dania mencoba menyentuhnya di balik jendela,
mengikuti setiap lekukan air yang mengalir di jendela.
“Dania, kamu turun dimana?” tanya Tami memecah kesunyian.
“
Hem,
di Leles, ini sudah sampai mana?” jawab Dania merilik ke arah Tami,
lalu memalingkannya wajahnya, ke luar jendela, mencari petunjuk, alamat.
“Baru sampai…” jawab Tami melihat ke depan, jendela mobil bus.
“Bentar
lagi saya turun, duluan yah Tam,” Dania memotong pembicaraan Tami,
saat melihat Jembatan Leles, Garut, Jawa Barat. Dania beranjak dari
tempat duduknya, berdiri, membenahi pakaian, kerudung dan posisi
ranselnya, menghamipiri kendektur yang berada di dekat pintu, membisikan
ke pada kendektur bahwasannya Ia akan berhenti di depan, setelah
jembatan Leles.
“Yah bang, berhenti disini” ucap Dania kepada
kendektur sambil memberikan ongkosnya, Ia melirik ke Tami dan terseyum,
mengisyaratkan saya pulang duluan. Tami pun tersenyum balik ke Dania dan
mengucapkan “Hati-hati dijalan”.
Hujan masih sangat deras, Dania
mengkhawatirkan pakaiannya akan basah terkena air hujan, melihat
pakaiannya. “Bismillahirohmanirohim” ucap Dania lirih dalam hati saat
menuruni bus tersebut. Ia berlari ke sebuah ruko didepannya untuk
berteduh, disana banyak orang yang sedang berteduh juga, sama seperti
Dania. Dania mengusap-ngusap tubuh dan merapihkan kerudungnya yang
terkena tetesan air hujan, Ia menangkap sosok Tami yang melambaikan
tangannya dari dalam bus, Ia tersenyum kepada Dania. Dania yang terkejut
melihat Tami pun segera melambaikan tangannya dan tersenyum, perlahan
bus itu pergi, yang terlihat hanya bagian belakang bus, bus itu semakin
menjauh dan kini tak terlihat lagi.
Dania melihat sekelilingnya
banyak orang yang berteduh menunggu hujan reda. Tak sengaja Dania
mendengar percakapan dua orang pelajar yang mengenakan pakaian SMA, yang
satu memakai tas warna biru dan yang lain memakai tas berwarna hitam.
“Wah, hujan kaya gini mah, lama redanya” ucap salah seorang pelajar yang memakai tas warna berwarna hitam.
“Iya
nih, kalau hujan kaya gini lama redanya, lanjut aja yuk perjalanannya,
lagian udah terlanjur basah ini bajunya” jawab pelajar yang memakai tas
berwarna biru sambil merapihkan bajunya, akhirnya mereka pun pergi di
tengah hujan deras.
“
Hem,, bener juga
apa kata Mereka, tapi nanti apa kata Ibu, kalau Dania pulang basah
kuyup” ucap Dania dalam hati dan menggaruk garuk kepalanya yang tidak
terasa gatal. Akhirnya Ia pun memutuskan untuk pergi, beranjak dari
tempatnya sekarang menuju rumahnya, menerjang hujan, tak peduli Ia akan
basah kuyup dan dimarahi Ibunya.
Rumah Dania memang tak begitu
jauh dari tempatnya berteduh. Dania berjalan di tengah hujan deras,
“Syalalalala..” ucap Dania menari-nari di tengah hujan deras, di
ambilnya bunga yang sedang bermekaran, wajahnya menengadah ke langit,
tetesan air hujan menyentuh wajah.
“Sudah lama tak hujan-hujanan
seperti ini, kalau Ibu tau pasti kena marah, semoga Ibu belum pulang”
ucapnya lagi, kini tubuhnya sudah basah kuyup. Ia mempercepat langkahnya
hingga tiba di depan rumahnya, rumah yang berada di pinggir jalan,
dengan kondisi dinding berwarna abu-abu, pagar hitam setinggi dirinya.
Terdengar suara gaduh dari dalam rumah,
Prraangg! suara benda pecah beradu dengan derasnya hujan.
“Ceraikan
aku mas, ceraikan..!!!” suara itu terdengar cukup menggema, hingga
menggetarkan gendang telinga Dania, langkahnya terhenti tepat di depan
pintu rumah. “Itu mirip suara Ibu, jika itu benar suara Ibu lantas, Ibu
sedang berbicara pada siapa? Apakah Ibu sedang berbicara dengan Ayah?
Tapi kenapa Ibu berbicara seperti itu? Apakah Ibu bertengkar dengan
Ayah?” sejumlah pertanyaan hinggap di pikiran Dania, membuat Ia khawatir
dengan apa yang sedang terjadi. Kini tubuhnya seakan lemas, tak sanggup
menompangnya. Dania semakin dihantui rasa penasaran, perlahan Ia masuk
ke ruang utamanya, ruang keluarga. Ia melihat ke sekelilingnya penuh
dengan pecahan kaca, Ia temui sosok lelaki paru baya yang biasa
dipanggil Ayah, dilihatnya tubuh lelaki itu mulai dari ujung kaki hingga
ujung rambut, sikap berdirinya tak segagah dahulu, tampak keriput
menghiasi tubuhnya, rambutnya yang tak lagi hitam, dan sorot sinar
matanya redup seperti ada kesedihan yang mendalam dihati lelaki itu.
Lelaki
itu sedang berdiri menatap seorang perempuan yang berada di hadapannya,
perempuan dengan vas bunga ditangan kanannya, seakan ingin dilemparkan
kepada lelaki tersebut. Perempuan itu adalah seseorang yang dicintai dan
telah dipersuntingnya tiga puluhtahun yang lalu. Perbedaan umur yang
cukup terlampau jauh membuat sang perempuan masih elok nan cantik,
tubuhnya masih terlihat kencang, tak banyak keriput yang hinggap
didirinya, rambutnya pun tak banyak yang memutih, dia adalah istri
lelaki paru baya segaligus Ibu bagi Dania dan dua orang saudaranya.
Dania
manatap Mereka tak percaya, nafasnya tak beraturan, Ia mulai merasakan
perih dan sesak dibagian dada sebelah kiri, bibirnya bergetar menahan
amarah yang tersampaikan, tak ayal air mata yang menyerupai berlian
bergulir merambati pipi Dania.
“Ayah,, Ibu,,” ucap Dania lirih,
menatap sosok menatap sepasang Pasutri secara bergantian, Ia mencoba
menyekat air mata yang keluar dari matanya.
“Dania” ucap Ibu yang
menyadari kedatangan Dania, vas bunga yang di pengang Ibu pun terjatuh,
tubuhnya tak mampu menompang, akhirnya Ibu pun duduk, terjatuh. Ayah
mencari sosok yang diucapkan oleh Ibunya, Ayah menemukan sosok Dania
yang berada disampingnya, Ia terkejut, sangat terkejut.
“Dania,
Ayah bisa jelaskan ini semua,” ucap Ayah, perlahan mendekati Dania.
Dania mundur selangkah demi selangkah, akhirnya Dania membalikan
badannya dan lari sekencang kencangnya keluar rumah.
“Dania mau
kemana? Hujan Nak.” teriak Ayah dari dalam rumah, mencoba mengenjar
Dania, Ibu hanya duduk terdiam, menangis, menyesali perbuatannya. Dania
mengabaikan ucapan Ayahnya. Dania berlari menerobos hujan yang amat
deras, hingga seluruh tubuhnya basah, terkena air hujan.
“Dania,,
Dania, tunggu Nak” suara Ayah yang masih mengikutinya dari belakang,
semua orang yang berada di sekeliling Dania memperhatikan dan mencoba
memanggil dirinya. Namun Dania tak memperdulikannya, Ia tetap berlari,
tanpa arah, tak tahu mau kemana, Ia hanya ingin menjauh dari rumah dan
Ayahnya.
Setelah berlari jauh dari rumahnya dan tak terdengar lagi
suara Ayahnya, Ia melihat sebuah gubuk kecil di tengah hamparan sawah
luas yang sedang menguning, gubuk itu terasa tak asing di mata Dania,
dia pernah ke gubuk ini satu bulan yang lalu bersama keluarga, gubuk ini
tak berubah sedikit pun, hanya terlihat sedikit basah. Ia berlari
kesana untuk berteduh, menghampiri sebuah bangku panjang, duduk disana,
menantap ke depan, ke hamparan sawah, membayangkan yang baru saja
terjadi di depan matanya. Dania memang sering mendengar kedua orang
tuanya bertengkar pada malam hari saat anak-anaknya sedang tidur, namun
Ia tidak menyangka kalau pada akhirnya akan ada pertengkaran sebesar
ini, hingga memecahkan beberapa vas bunga dirumah.
Seragam sekolah
yang basah, angin yang berhembus cukup kencang diiringi tetesan air
yang turun dari langit membuat suasana sekitarnya menjadi membeku. Kini
pikirannya pun melayang menelusuri jejak-jejak yang basah dalam
benaknya..
********
Hari ini, hari pertama Dania
memasuki bangku SMP, pagi hari semua keadaan masih terlihat lancar
seperti biasanya, hingga pada malam tepatnya pada suasana makan malam
sedang berlangsung, bincang-bincang meja makan pun dimulai, kami memang
sering menceritakan segala kejadian hari ini dimeja makan, karena hanya
saat itulah semua anggota keluarga bisa berkumpul semua. Ibu
menceritakan kondisi keadaan ekonomi yang sedang kurang baik dan Ia pun
di tugaskan untuk pergi keluar kota pada esok hari. Kami pun memaklumi
kondisi ini. Sari, Dania dan Dani siap jika uang jajannya dikurangi,
begitu pun Ayah, Ia siap mengurangi jatah uang untuk merokok. Dan
masalah Ibu ditugaskan keluar kota, yah mungkin itu wajar, karena tugas
dari atasannya, ketuanya. Namun seiring berjalannya waktu, entah kenapa
Ibu semakin sering ditugaskan untuk bolak-balik luar kota dan setiap
pulang dari keluar kota Ibu lebih sering menerima telepon secara
sembunyi-sembunyi, Dania mengangap hal itu wajar, mungkin rekan kerjanya
yang menanyakan tentang pekerjaan. Hingga pada akhirnya terciumlah
aroma perselingkuhan Ibunya dengan pria lain. Suatu hari Dania melihat
ponsel Ibunya tergeletak di atas meja, Ia memberanikan diri untuk
menggenggam ponsel tersebut tanpa sepengetahuan Ibunya, Ia membaca pesan
singkat, Ia memperhatikan secara detail tiap kata-katanya dan matanya
seakan mau keluar, terbelalak saat menemukan kata “Sayang”. Dania tak
percaya dengan apa yang dia lihat, ia sempat beranggapan “mungkin itu
salah kirim”, namun saat membuka pesan singkat yang lain kata itu pun
masih menghiasi layar ponsel. Ia meyakini aroma perselingkuhan itu bukan
sekedar aroma tapi memang nyata adanya perselingkuhan yang terjadi.
Pada saat itulah tidur Dania mulai menjadi tak karuan dan mimpi
perceraian Ayah dan Ibunya pun mulai menghantuinya. Dania menceritakan
mimpinya kepada Ayah dan Kakak perempuan, mimpi tentang pertemuannya
dengan Ibu dan pria lain.
Ketika itu Dania yang sedang beradara di
kamarnya pun beranjak dari tempat tidurnya, perlahan lahan keluar
kamar, saat mendengar suara percakapan gaduh dari ruang keluarga, Ia
melihat kedua orangtuanya sedang bersi tegang, langkanya pun terhenti,
Ia bersembunyi di balik dinding yang berada cukup dekat dengan posisi
orangtuanya, hingga ia dapat menyaksikan secara jelas apa yang sedang
terjadi. Suara orangtuanya tak begitu jelas terdengar hingga Dania harus
memasang telinganya baik-baik saat mendengar percakapan mereka.
“Mas
saya mau cerai, saya mau nikah dengan lelaki lain” ucap Ibu sambil
menatap Ayah, dan tak lama seorang lelaki yang masih terlihat tampah,
mapan, dan lebih muda dari Ayah datang mengampiri Ibu, lelaki itu
mencium kening dan menggandeng tangan Ibu. Ayah melihat perlakuan lelaki
itu terhadap Istrinya tak bisa berkutik, diam saja, menatap Ibu dengan
wajah sangat kecewa. Dania tak tahan atas sikap lelaki itu bermesraan
dengan Ibunya pun beranikan diri untuk keluar dari tempat
persembunyiannya. Dania melangkahkan kakinya tanpa ragu menuju Ayah, Ibu
dan lelaki muda itu berada. Wajahnya terlihat memerah, seperti api yang
menyala-nyala, nafasnya tak beraturan, Ia tak sanggup menahan emosi,
langkahnya berhenti tepat disebelah Ayah, dihadapan Ibu dan Lelaki itu.
“Oh,,
jadi ini lelaki yang sering menelepon Ibu dan ngirim pesan singkat
dengan kata-kata Sayang? Ini Bu?” ucap Dania dengan nada sedikit di
tekan pada saat bilang ‘Sayang’, Dania melihat lelaki muda itu dengan
tatapan sinis dan tak sedikit pun senyuman hinggap diwajah Dania. Lelaki
itu pun melihat Dania tak kalah sinis dan Ia sempat tersenyum tipis
saat Dania berbicara.
“Wah hebat yah Ibu, melepaskan Ayah hanya
untuk lelaki ini.!!” Lanjut Dania dengan nada semakin tinggi, mata
seakan ingin keluar dan sepertinya masih banyak yang ia ingin ucap kan
terhadap Ibunya namun Ayahnya lebih dulu memegang tangan Dania, Dania
paham itu adalah sebuah kode agar ia berhenti mengatakan yang tak pantas
ia katakan kepada Ibunya. Dania menarik nafas panjang panjang dan
mengeluarkannya “huff”, ia berkali kali melakukan hal itu.
“Saya
tidak akan ceraikan kamu, Bu. Bagaimana dengan anak kita nantinya,
kasihan mereka kalau kita bercerai, mereka masih membutuhkan kasih
sayang kita.” ucap Ayah memecah kesunyian, tatapan matanya menyapu
seluruh isi ruangan, lalu menatap dania yang berada di sampingnya, kedua
tangannya merangkul pundak Dania, kini tatapannya berbinar-binar seakan
menahan butiran mutiara keluar dari persembunyiannya. Ibu terdiam
mendengarkan perkataan Ayah, matanya menatap lelaki muda itu.
“Anak?
Kita bagi dua aja untuk hak asuh Anak. Saya akan membawa Dani ikut
dengan saya dan lelaki ini.” Ucap Ibu melirik ke arah Ayah lalu
mengalihkan pandangannya ke Lelaki Muda itu dengan senyum kecil. Lelaki
itu pun tersenyum penuh kemenangan diwajahnya, Ia merangkul Ibunya,
namun Ibu mencoba menolaknya, Ia menurunkan tanggan Lelaki Muda itu.
Tampak sekali Lelaki Muda itu ingin memamerkan kemesraannya di depan
Ayah dan Dania.
“loh ko begitu Bu?! Ibu sekarang berubah, bukan
tidak seperti Ibuku yang dulu.! Apa karena Lelaki ini?!” Ucap Dania
sambil menggeleng-ngelengkan kepalanya, seakan Ia tak menyangka apa yang
telah di katakna Ibunya, nada bicaranya sedikit tinggi saat menyebutkan
kalimat “apa karena Lelaki ini” dan tangannya pun reflek menunjuk wajah
Lelaki Muda.
“Sabar, sabar, Nak” ucap Ayah yang mencoba menurun
tangan Dania dari hadapan Lelaki Muda itu. Ayah pun menjauhkan Dania
dari Ibu.
PLAAAKKK..!! sebuah tangan
mendarat tapat di pipi Dania membentuk tato berwarna merah. Dania
memegangi wajah yang bertato itu, tersentak tak percaya apa yang
dilakukan Ibunya. Ayahnya sempat ingin membalas tato tersebut diwajah
Istrinya namun seketika tangan Ayah dihalang oleh Lelaki Muda itu.
“Mungkin
saya harus memberikan sebuah tamparan agar mulutmu itu tak banyak
bicara” ucap Ibu dengan nada kebencian. Ibu beranjak dari tempatnya,
membalikan badannya dan pergi ke luar rumah bersama lelaki muda itu.
Dania hanya punggung mereka yang seakan menjauh dan akhirnya menghilang
dari pandangan.
Setelah menceritakan semuanya, hati Dania terasa
sedikit lega, plong. Kakak permpuannya, Sari. pun ikut menceritakan apa
yang dilihatnya selama ini “Iya, Teteh juga pernah liat ibu menerima
telepon lama banget pas Ayah piket dikantor” ucap Sari meyakinkan. Ayah
hanya tersenyum mendengarkan ucapan Sari.
“Ibumu itu sedang
diguna-guna, Ayah sudah cerita masalah ini kepada Nenek dan Uwa, tidak
usah khwatir, kamu konsentrasi belajar aja yah nak” ucap Ayah, tatapan
matanya melihat kearah depan, tak jelas apa yang dilihatnya.
“Guna-guna?”
ucap Dania dan Sari secara serempak dan mengalihkan pandangannya ke
arah Ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk beberapakali. Tak bisa di
percaya, apa yang telah ucapkan oleh Ayahnya tentang guna-guna atau ilmu
hitam. Namun ketika hampir setiap malam Dania mendengarkan suara gaduh
dari kamar Orang tuanya, melihat Orang tuanya tidur terpisah dan semakin
jarang bercengkrama, perlahan-lahan membuat Dania yakini akan guna-guna
atau ilmu hitam itu hinggap di Ibunya.
********
“Arrggghhtt”
Dania berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan segala beban yang Ia
rasakan. Air matanya mulai mengering, Ia menangis tanpa air mata. Ia
merebahkan tubuhnya di bangku panjang, yang sedari tadi ditempatinya.
Tubuh Dania menggigil, kedinginan. Hembusan angin, membuat tubuhnya
menggigil, Ia mencoba menggosok-gosokkan tangannya ke badan, memeluk
erat tubuhnya, mencoba menghangatkan dirinya sendiri hingga matanya
terasa berat dan akhirnya tertidur.
“Dania,, Dania” terdengar
suara Ayah yang semakin lama semakin mendekat, Dania membuka matanya
saat mendengar suara itu, Ia tak memperdulikan suara ayahnya, Ia tak
sanggup berlari untuk menjauh dari Ayahnya, matanya terasa sembab,
tubuhnya kini membeku, seluruh badannya terlihat pucat.
Dania
melihat kedepan dengan tatapan kosong, melihat hujan sudah mulai reda,
langit terlihat sedikit lebih cerah, namun tiupan angin masih sangat
kencang.
“Daniiiiiaaaa, Ya Tuhan, kamu pucat sekali Nak” teriak
Ayah saat melihat Dania yang terbaring lemas diatas kursi, Ayah berlari
menghampiri Dania, memeluk tubuh Dania, mengusap-ngusap wajah dan kepala
Dania. Dania tak bisa mengelak, Ia hanya diam tak berdaya.
“Nak,
maafkan Ayah, Ayah tak mampu jadi kepala keluarga yang baik,” ucap Ayah
sambil mencoba menggendong Dania, tak sepatah kata pun terucap dari
bibir Dania, “Ayo kita pulang nak” ajak Ayah, air mata Ayah pun tumpah
saat menggendong Dania, Dania tak tega melihat Ayahnya menangis, Ia
mencoba menghapus air mata Ayahnya, Ayahnya tersenyum kepada Dania,
Dania mencoba memejamkan mata, mendekap lebih erat di pelukan Ayahnya,
Ia merasa sangat nyaman di gendong Ayahnya.
“Ayah, Dania,,”
terdengar samar-samar suara langkah kaki yang mendekat dan tiba-tiba
saja ada yang menyentuh dahi Dania saat memasuki pintu rumahnya. Dania
membuka mata, Ia melihat kakak perempuannya dan adiknya, Sari dan Dani
berada di hadapannya, Dania mencoba tersenyum kepada Mereka, Namun Dania
tak melihat Ibunya “Kemana Ibunya?” tanya Dania dalam hati. Sari adalah
kakak perempuan Dania, Ia berumur tiga tahun lebih tua dari Dania,
sekarang Ia duduk di bangku SMA dan Dani adalah adik laki-laki Dania, Ia
berumur lima tahun lebih muda dari pada Dania, Ia sekarang duduk di
bangku SD.
“Ya Tuhan, Dania badannya panas sekali,” ucap kakak perempuannya setelah memegang dahi Dania.
“Awas,
awas Dania mau lewat, Sari buatkan air hangat segera, terus buatkan teh
hangat juga untuk Dania” ucap Ayahnya sambil membawa Dania ke kamar,
membaringkan Dania diatas kasur, Ayah langsung keluar kamar setelah
membaringkan Dania diatas kasur, tak lama Ibu datang membawa air hangat
dan teh hangat yang di buatkan oleh Sari, wajah Ibunya terlihat beda
dari biasanya, sedikit kusut dan tak bersemangat. Ibu menggantikan baju
Dania, setelah itu Ia mengambilkan cangkir berisikan teh hangat yang
berada diatas meja, dan membantu meminumkan teh hangat untuk Dania.
Tubuh Dania kini sudah sedikit membaik, Ibu beranjak bangun dan keluar
kamar Dania setelah mengusap-ngusap rambut dan mencium kening Dania.
Semua
anggota keluarga satu persatu masuk dan berkumpul dikamar Dania, mulai
dari Ayah, Dani, Sari dan yang terakhir Ibu. Dania menatap satu persatu
dari Mereka dengan wajah bertanya-tanya.
“Ibu sudah membicarakan
ini pada mba Sari dan adikmu Dani juga Ayahmu” ucap Ibu lirih dengan
wajah menunduk dan mata mulai berkaca-kaca, semua pandangan tertuju pada
Ibu, Mereka menatap dengan sangat serius.
“Ibu akan menenangkan
diri dirumah nenek, di Serang, Banten. Ibu sudah memutuskan akan pergi
bersama Dani.” lanjut Ibu sambil melirik Dania, kemudian menatap Dani
lekat-lekat. Dania tahu bahwa adiknya Dani itu memang sangat dekat
dengan Ibunya, Dania juga tahu kalau Dani adalah anak kesayangan Ibunya,
mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya. Sedangkan kakak
perempuannya yaitu Sari, dia sangatlah dekat dengan Ayahnya, kalau ada
masalah apapun Sari pasti membela Ayahnya, seperti masalah ini, dia
sangatlah kontra dengan Ibunya. Namun Dania, dia dekat dengan keduanya,
dia tak membela siapapun, ketika terjadi masalah.
“Ibu akan
berangkat besok pagi” ucap Ibu memecah lamunan Dania, Dania menangkap
tatapan Ibunya yang sedang menatapnya, Ibu tersenyum kecil kepada Dania,
Dania mencoba mengalihkan pandangannya, tak sanggup menatap mata
Ibunya.
Esokan harinya, dipagi buta, Ibu membangunkan Dania yang
masih tertidur di dalam kamarnya, Ibu berpamitan mulai dari Ayah, Sari
dan Dania. Ibu berpesan kepadaku agar menjaga diri baik-baik. Kami
menghantarkan Ibu sampai terminal, Dania melihat Ibunya menangis dibalik
jendela bis, Dania ingin sekali menghapus air mata Ibunya, Ia tak ingin
Ibunya menanggis. “Rencana Allah itu lebih indah dari pada rencana
manusia” ucap Dania dalam hati, mencoba menguatkan diri.
***********
(Satu bulan kemudian)
Ting
tong,, ting tong,, suara bel dirumah Dania berbunyi. Dania sedang asik
membaca novel dikamarnya pun langsung keluar kamar, Dania melihat
Ayahnya sedang duduk di depan televisi dan kakak perempuannya sedang
memasak di dapur. Dania berjalan menghampiri Ayahnya, Ia menatap Ayahnya
lekat-lekat,bermaksud agar Ayahnya sadar kalau sedang di perhatikan.
Namun Ayahnya tak menyadari bahwa Dania sedang memperhatikan. Hingga
akhirnya Dania memutuskan untuk memanggil Ayahnya.
“Ssstt,, sstt,,
Ayah,” ucap Dania dengan nada bisik-bisik, Ayah mencoba mencari sumber
suara tersebut, hingga akhirnya Ayah melihat Dania yang sedang tersenyum
kepadanya,
“Apa Dania?” jawab ayah sambil tersenyum kepadanya
“Itu ada tamu” ucap Dania,
“Udah kamu aja yang membukakan pintu” jawab Ayah sambil mengerutkan dahinya dan mengalihkan pandangannya kearah televisi.
“Ih
engga mau ah, Ayah aja yang membukakan pintu, Dania tak mengenakan
kerudung khawatir lama jika Dania yang membukakan pintu” ucap Dania
sambil melirik ruang tamu”
Akhirnya Ayah pun beranjak dari tempat
duduknya, berjalan menghampiri ruang tamu, Dania mengikuti Ayahnya dari
belakang dengan wajah penasaran, Ia bersembunyi di balik dinding, hingga
wajahnya saja yang terlihat. Ayah mencoba membukakan pintu “krek” pintu
dibuka perlahan-lahan, terlihat disana seorang wanita paruh baya
berkerudung, mengenakan baju batik warna cokelat dan celana bahan warna
cokelat, bersama salah seorang anak laki-laki dengan potongan rambut
pendek, mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru dan celana levis.
Diluar tampak hujan deras, baju yang dikenakan keduanya terlihat sedikit
basah. Dania melihat Ayahnya sedikit mematung setelah membukakan pintu
tersebut, wanita paruh baya dan anak laki-laki itu pun mencoba tersenyum
kepada Ayah dan Dania, Dania mencoba mengecilkan pupil matanya matanya
agar terlihat lebih fokus.
“Ibu, Dani,,” teriak Dania saat
menyadari itu adalah Ibu dan Adiknya, Dania berlari menghampiri Mereka
dan memeluk hangat Ibunya, sudah lama sekali tidak menikmati pelukan
sehangat ini, air matanya pun mulai mengalir membasahi pipinya, begitu
pun Ibunya. Ibu pun mencium pipi Dania beberapakali, hingga wajah Dania
sedikit merah dan basah akan air mata Ibunya.
“Udah Nak, jangan
nangis, Ibu ada disini” ucap Ibu sambil menghapus air mata Dania dan
memeluk Dania kembali. Dania sempat melirik Ayahnya, Ayahnya masih diam
terpaku melihat Ibu dan anak laki-lakinya pulang kerumah, mata Ayah
mulai berkaca-kaca, terlihat bahwa Ayah menahan tangisannya. Sedangkan
Dani mulai mengusap-ngusapkan matanya dengan kedua tangan, matanya
memerah, sempat terdengar beberapakali isakan tanggis yang tertahan,
adiknya menangis.
“Ibu,,” terdengar suara dari belakang Dania,
Dania membalikan posisi badannya, menangkap sosok kakak perempuannya
yang mengenakan celemek dan memegang serbet, masih diam terpaku menatap
Ibu, hingga serbet di tanggannya pun terjatuh, Ibu pun menatapnya balik
dengan bibir yang bergetar dan air mata semakin deras. Dania pun mulai
melepaskan diri secara perlahan dari pelukan Ibunya. Tatapan kami semua
tertuju pada Sari, tetehku.
“Sari,, anakku,,” ucap Ibu dengan nada bergetar dan menyeka air mata yang ingin keluar dari matanya.
“Sini Nak,,” lanjut Ibu, Ibu membuka tanganya, menandakan ingin memeluk.
“Ibu,,
benerkah ini Ibu?” ucap Sari dengan bertanya-tanya, perlahan-lahan ia
menghampiri Ibunya, mata mulai memerah, air matanya jatuh setetes demi
setetes, Sari jatuh di pelukan Ibunya.
Semenjak hari itu semua
keadaan mulai membaik, tak pernah terdengar lagi suara gaduh pada malam
hari, dan Ibu pun sudah tidak menerima telepon secara sembunyi-sembunyi.
Namun Dania sedikit trauma setiap Ibunya menerima telepon dengan siapa
pun secara sembunyi-sembunyi. Dania khawatir kejadian seperti ini akan
terulang kembali. Waktu terus berjalan kejadian tersebut menjadi sebuah
kenangan yang tak terlupakan oleh Dania dan keluarganya.
****
Hari
ini Ayah dan Ibu mengajak kami, sekeluarga bertamasya ke Gubuk tua di
tengah hamparan pematang sawah. Ayah dan Ibu berada duduk berdua
dikursi, mempersiapkan makan siang yang dibawa dari rumah, sedangkan
Sari, Dania dan Dani, berlarian ke kesana kemari di tengah hamparan
sawah.
“Sari,, Dania,, Dani,, sini Nak” ucap Ibu yang terlihat
selesai mempersiapkan makan siang. “Iya sini,, kita makan siang dulu,,
liat nih Ibu memasak ikan bakar.” lanjut Ayah sambil menunjukan ikan
bakarnya. Sari, Dania, dan Dani berlari menghampiri Ayah dan Ibu.
“Nak,,
lihat itu” ucap Ibu melirik anak-anaknya yang berada bersebelahan
dengan Ayah dan Ibunya, Ibu mengalihkan pandangannya ke arah depan.
Sari, Dania, Dani mengikuti arah sorot mata Ibu.
“Subhanallah”
ucap Mereka bersamaan, tatapan mata mereka berkaca-kaca, kagum. saat
melihat pelangi yang terlihat jelas di depan mata mereka.
“Pelangi
itu muncul setelah hujan” ucap Ayah sembari melirik Ibu dan tersenyum,
terlihat wajah Ayah yang sangat bahagia, Ibu pun sadar dilirik Ayah dan
membalas senyuman itu.
“Ciyyee yang udah baikan” ucap Sari saat
melihat tingkah laku Ayah dan Ibunya. Ayah dan Ibu terlihat kikuk,
Mereka langsung memeluk Anak-anaknya sambil menatap pelangi.
“Iya,
pelangi itu muncul setelah hujan dan hujan itu pasti ada redanya,
seperti masalah pasti akan berakhir dan pasti berakhir dengan indah,
seperti ini.” ucap Dania dalam hati, mata Dania mulai berkaca-kaca,
sebelum butiran mutiara itu tumpah di pipinya, Ia segera menyekanya. Ia
melirik Ayah dan Ibunya saling pandang-pandang. Dania senang melihat
kedua orang tuanya seperti ini, akur dan damai.
“teng, teng, teng”
lonceng sekolah telah berbunyi, pertanda kegiatan belajar mengajar pun
telah usai, beberapa Murid dari kelas lain sudah keluar kelas terlebih
dahulu, ekspresi ceria terlihat di wajah-wajah Mereka, sepertinya Mereka
ingin bergegas pulang ke rumah. Namun di salah satu kelas terlihat
semua Murid masih mengemas alat tulisnya, memasukan perlengkapan alat
tulis menulis, seperti buku pelajaran, pulpen, pensil dan penghapusnya
kedalam tas. Begitupun dengan Dania, masih sibuk memasukan perlengkapan
menulisnya yang tergeletak diatas meja. Dania adalah salah satu Murid
yang bersekolah di SMPN 2 Tarogong, Garut, Jawa Barat. Sekarang, Ia
duduk di bangku kelas dua, terhitung sudah enam bulan Ia duduk dibangku
kelas dua, namun Ia belum bisa mengakrabkan dirinya dengan Murid-murid
yang lain. Dania bukan termasuk kriteria gadis yang supel dan bisa
menyapa semua orang yang belum dikenalnya. Tak lama Guru yang masih
berada di dalam kelas mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan ruang
kelas, diikuti oleh segerombolan Murid-muridnya. Kini ruang kelas
terlihat sepi dengan kondisi hanya ada beberapa orang di dalamnya, satu
persatu dari Mereka pun keluar ruang kelas untuk pulang.
“Dania,
mau pulang bareng ga?” tanya salah satu teman Dania, saat melihat Dania
sedang berdiri di samping kursi sembari membenahi posisi tas ransel yang
dikenakannya. Dania mengenalnya sebagai Tami, salah satu Gadis paling
ramah dikelas. Tami adalah teman pertama yang membuatnya merasa nyaman.
Dania dan Tami, mereka selalu bersama kemana pun pergi, mulai dari makan
bersama, ke kantin bersama, ke perpustakaan bersama, terkadang Mereka
pun pulang bersama, sehingga muncullah sebuah pribahasa “Dimana ada
Dania disana ada Tami”. Kebersamaan Mereka yang baru seumur Jagung belum
bisa dibilang mencapai tahap Persahabatan karena Mereka masih saling
menutupi mengenai permasalahan pribadinya, termasuk permasalahan
keluarga.
Dania yang telah selesai membenahi tas ranselnya menoleh
kearah Tami yang berada dibelakangnya. “Apa?” ucap Dania sambil menatap
mata Tami, dia lupa apa yang baru saja Tami ucapkan. “Oh, pulang bareng
yah?, nanti yah cek ponsel dulu yah, khawatir ada sms dari Ayah” lanjut
Dania ketika Ia mulai ingat apa yang dikatakan Tami.
Tami hanya
mengangguk, menunggu jawaban dari Dania. Pandangan Tami menyapu seluruh
isi ruangan, tatapan matanya terhenti pada seorang siswi yang baru saja
beranjak dari kursinya dan segera keluar kelas. Tami mengambil kursi di
dekatnya dan Ia duduk diatasnya.
Dania mengambil ponsel di dalam
tas. Ia menatap layar ponsenya, ternyata ada 2 pesan dan satu panggilan
yang tidak terjawab, itu semua dari Ayah. Salah satu isi pesannya
“Dania, Ayah ga bisa jemput, ayah lagi banyak kerjaan, kamu bisa kan
pulang sendiri?” dan yang lain “Dania, kalau mau pulang bilang dulu sama
Ayah”.
Dania mencoba berkali-kali menelpon Ayahnya namun tak
kunjung diangkat, Dania melirik kearah Tami, Tami yang sedari tadi
memperhatikan tingkah laku Dania pun menatap dengan bertanya-tanya,
Dania hanya menggelengkan kepalanya, akhirnya Dania memutuskan untuk
mengirim pesan singkat kepada Ayahnya “Ayah, Dania pulang bersama Tami
jadi Ayah tidak usah jemput Dania” dengan setengah gusar, Dania
memasukan kembali ponsel kedalam tas.
“Dania yuk pulang, liat
kelas udah sepi, tinggal kita berdua yang belum pulang” ajak Tami
setelah menunggu beberapa menit, tanpa jawaban dari Dania, Ia sudah
mulai bosan menunggu, Tami berdiri, bangun dari kursi.
“Aku
khawatir hujan akan segera turun, langit sudah mulai mendung tuh” lanjut
Tami sambil melihat keluar ruang kelas, langit sangat gelap, angin
kencang mengoyahkan pepohonan membuat dedaunan gugur dari pohonnya,
berserakan di sekitar koridor kelas bahkan ada yang masuk ke dalam
kelas. Dania mengikuti arah sorot mata Tami, menatap keluar kelas.
Dania menarik tangan Tami, berlari ke keluar kelas, Mereka menuju
gerbang sekolah, tempat dimana Mereka harus menunggu Bus.
Mereka
melambaikan tangan, memberhentikan saat melihat bus yang mereka ingin
naiki telah datang, Mereka melangkah ke dalam bus, bus ini cukup sepi,
hanya ada beberapa orang disana. Dania memilih bangku di pertengahan dan
duduk berdekatan dengan jendela, diikuti Tami yang duduk disebelahnya.
Hembusan
angin terasa sangat kencang, membuat Dania berkali-kali harus
merapihkan kerudungnya yang tertiup angin, Ia menyandarkan kepalanya ke
jendela, menatap keluar jendela. Awan mendung, hitam tampak sedang
berjalan menuju tempat yang tepat untuk menurunkan semua beban yang
terkandung didalamnya, air. Beberapakali terlihat kilat yang menyambar,
tanpa suara.
Douuaaar! kilat
yang sangat keras membuat semua penumpang tersentak kaget, air dari
langit turun setetes demi setetes berjatuhan hingga akhirnya tumpah
sangat deras, tangan Dania mencoba menyentuhnya di balik jendela,
mengikuti setiap lekukan air yang mengalir di jendela.
“Dania, kamu turun dimana?” tanya Tami memecah kesunyian.
“
Hem,
di Leles, ini sudah sampai mana?” jawab Dania merilik ke arah Tami,
lalu memalingkannya wajahnya, ke luar jendela, mencari petunjuk, alamat.
“Baru sampai…” jawab Tami melihat ke depan, jendela mobil bus.
“Bentar
lagi saya turun, duluan yah Tam,” Dania memotong pembicaraan Tami,
saat melihat Jembatan Leles, Garut, Jawa Barat. Dania beranjak dari
tempat duduknya, berdiri, membenahi pakaian, kerudung dan posisi
ranselnya, menghamipiri kendektur yang berada di dekat pintu, membisikan
ke pada kendektur bahwasannya Ia akan berhenti di depan, setelah
jembatan Leles.
“Yah bang, berhenti disini” ucap Dania kepada
kendektur sambil memberikan ongkosnya, Ia melirik ke Tami dan terseyum,
mengisyaratkan saya pulang duluan. Tami pun tersenyum balik ke Dania dan
mengucapkan “Hati-hati dijalan”.
Hujan masih sangat deras, Dania
mengkhawatirkan pakaiannya akan basah terkena air hujan, melihat
pakaiannya. “Bismillahirohmanirohim” ucap Dania lirih dalam hati saat
menuruni bus tersebut. Ia berlari ke sebuah ruko didepannya untuk
berteduh, disana banyak orang yang sedang berteduh juga, sama seperti
Dania. Dania mengusap-ngusap tubuh dan merapihkan kerudungnya yang
terkena tetesan air hujan, Ia menangkap sosok Tami yang melambaikan
tangannya dari dalam bus, Ia tersenyum kepada Dania. Dania yang terkejut
melihat Tami pun segera melambaikan tangannya dan tersenyum, perlahan
bus itu pergi, yang terlihat hanya bagian belakang bus, bus itu semakin
menjauh dan kini tak terlihat lagi.
Dania melihat sekelilingnya
banyak orang yang berteduh menunggu hujan reda. Tak sengaja Dania
mendengar percakapan dua orang pelajar yang mengenakan pakaian SMA, yang
satu memakai tas warna biru dan yang lain memakai tas berwarna hitam.
“Wah, hujan kaya gini mah, lama redanya” ucap salah seorang pelajar yang memakai tas warna berwarna hitam.
“Iya
nih, kalau hujan kaya gini lama redanya, lanjut aja yuk perjalanannya,
lagian udah terlanjur basah ini bajunya” jawab pelajar yang memakai tas
berwarna biru sambil merapihkan bajunya, akhirnya mereka pun pergi di
tengah hujan deras.
“
Hem,, bener juga
apa kata Mereka, tapi nanti apa kata Ibu, kalau Dania pulang basah
kuyup” ucap Dania dalam hati dan menggaruk garuk kepalanya yang tidak
terasa gatal. Akhirnya Ia pun memutuskan untuk pergi, beranjak dari
tempatnya sekarang menuju rumahnya, menerjang hujan, tak peduli Ia akan
basah kuyup dan dimarahi Ibunya.
Rumah Dania memang tak begitu
jauh dari tempatnya berteduh. Dania berjalan di tengah hujan deras,
“Syalalalala..” ucap Dania menari-nari di tengah hujan deras, di
ambilnya bunga yang sedang bermekaran, wajahnya menengadah ke langit,
tetesan air hujan menyentuh wajah.
“Sudah lama tak hujan-hujanan
seperti ini, kalau Ibu tau pasti kena marah, semoga Ibu belum pulang”
ucapnya lagi, kini tubuhnya sudah basah kuyup. Ia mempercepat langkahnya
hingga tiba di depan rumahnya, rumah yang berada di pinggir jalan,
dengan kondisi dinding berwarna abu-abu, pagar hitam setinggi dirinya.
Terdengar suara gaduh dari dalam rumah,
Prraangg! suara benda pecah beradu dengan derasnya hujan.
“Ceraikan
aku mas, ceraikan..!!!” suara itu terdengar cukup menggema, hingga
menggetarkan gendang telinga Dania, langkahnya terhenti tepat di depan
pintu rumah. “Itu mirip suara Ibu, jika itu benar suara Ibu lantas, Ibu
sedang berbicara pada siapa? Apakah Ibu sedang berbicara dengan Ayah?
Tapi kenapa Ibu berbicara seperti itu? Apakah Ibu bertengkar dengan
Ayah?” sejumlah pertanyaan hinggap di pikiran Dania, membuat Ia khawatir
dengan apa yang sedang terjadi. Kini tubuhnya seakan lemas, tak sanggup
menompangnya. Dania semakin dihantui rasa penasaran, perlahan Ia masuk
ke ruang utamanya, ruang keluarga. Ia melihat ke sekelilingnya penuh
dengan pecahan kaca, Ia temui sosok lelaki paru baya yang biasa
dipanggil Ayah, dilihatnya tubuh lelaki itu mulai dari ujung kaki hingga
ujung rambut, sikap berdirinya tak segagah dahulu, tampak keriput
menghiasi tubuhnya, rambutnya yang tak lagi hitam, dan sorot sinar
matanya redup seperti ada kesedihan yang mendalam dihati lelaki itu.
Lelaki
itu sedang berdiri menatap seorang perempuan yang berada di hadapannya,
perempuan dengan vas bunga ditangan kanannya, seakan ingin dilemparkan
kepada lelaki tersebut. Perempuan itu adalah seseorang yang dicintai dan
telah dipersuntingnya tiga puluhtahun yang lalu. Perbedaan umur yang
cukup terlampau jauh membuat sang perempuan masih elok nan cantik,
tubuhnya masih terlihat kencang, tak banyak keriput yang hinggap
didirinya, rambutnya pun tak banyak yang memutih, dia adalah istri
lelaki paru baya segaligus Ibu bagi Dania dan dua orang saudaranya.
Dania
manatap Mereka tak percaya, nafasnya tak beraturan, Ia mulai merasakan
perih dan sesak dibagian dada sebelah kiri, bibirnya bergetar menahan
amarah yang tersampaikan, tak ayal air mata yang menyerupai berlian
bergulir merambati pipi Dania.
“Ayah,, Ibu,,” ucap Dania lirih,
menatap sosok menatap sepasang Pasutri secara bergantian, Ia mencoba
menyekat air mata yang keluar dari matanya.
“Dania” ucap Ibu yang
menyadari kedatangan Dania, vas bunga yang di pengang Ibu pun terjatuh,
tubuhnya tak mampu menompang, akhirnya Ibu pun duduk, terjatuh. Ayah
mencari sosok yang diucapkan oleh Ibunya, Ayah menemukan sosok Dania
yang berada disampingnya, Ia terkejut, sangat terkejut.
“Dania,
Ayah bisa jelaskan ini semua,” ucap Ayah, perlahan mendekati Dania.
Dania mundur selangkah demi selangkah, akhirnya Dania membalikan
badannya dan lari sekencang kencangnya keluar rumah.
“Dania mau
kemana? Hujan Nak.” teriak Ayah dari dalam rumah, mencoba mengenjar
Dania, Ibu hanya duduk terdiam, menangis, menyesali perbuatannya. Dania
mengabaikan ucapan Ayahnya. Dania berlari menerobos hujan yang amat
deras, hingga seluruh tubuhnya basah, terkena air hujan.
“Dania,,
Dania, tunggu Nak” suara Ayah yang masih mengikutinya dari belakang,
semua orang yang berada di sekeliling Dania memperhatikan dan mencoba
memanggil dirinya. Namun Dania tak memperdulikannya, Ia tetap berlari,
tanpa arah, tak tahu mau kemana, Ia hanya ingin menjauh dari rumah dan
Ayahnya.
Setelah berlari jauh dari rumahnya dan tak terdengar lagi
suara Ayahnya, Ia melihat sebuah gubuk kecil di tengah hamparan sawah
luas yang sedang menguning, gubuk itu terasa tak asing di mata Dania,
dia pernah ke gubuk ini satu bulan yang lalu bersama keluarga, gubuk ini
tak berubah sedikit pun, hanya terlihat sedikit basah. Ia berlari
kesana untuk berteduh, menghampiri sebuah bangku panjang, duduk disana,
menantap ke depan, ke hamparan sawah, membayangkan yang baru saja
terjadi di depan matanya. Dania memang sering mendengar kedua orang
tuanya bertengkar pada malam hari saat anak-anaknya sedang tidur, namun
Ia tidak menyangka kalau pada akhirnya akan ada pertengkaran sebesar
ini, hingga memecahkan beberapa vas bunga dirumah.
Seragam sekolah
yang basah, angin yang berhembus cukup kencang diiringi tetesan air
yang turun dari langit membuat suasana sekitarnya menjadi membeku. Kini
pikirannya pun melayang menelusuri jejak-jejak yang basah dalam
benaknya..
********
Hari ini, hari pertama Dania
memasuki bangku SMP, pagi hari semua keadaan masih terlihat lancar
seperti biasanya, hingga pada malam tepatnya pada suasana makan malam
sedang berlangsung, bincang-bincang meja makan pun dimulai, kami memang
sering menceritakan segala kejadian hari ini dimeja makan, karena hanya
saat itulah semua anggota keluarga bisa berkumpul semua. Ibu
menceritakan kondisi keadaan ekonomi yang sedang kurang baik dan Ia pun
di tugaskan untuk pergi keluar kota pada esok hari. Kami pun memaklumi
kondisi ini. Sari, Dania dan Dani siap jika uang jajannya dikurangi,
begitu pun Ayah, Ia siap mengurangi jatah uang untuk merokok. Dan
masalah Ibu ditugaskan keluar kota, yah mungkin itu wajar, karena tugas
dari atasannya, ketuanya. Namun seiring berjalannya waktu, entah kenapa
Ibu semakin sering ditugaskan untuk bolak-balik luar kota dan setiap
pulang dari keluar kota Ibu lebih sering menerima telepon secara
sembunyi-sembunyi, Dania mengangap hal itu wajar, mungkin rekan kerjanya
yang menanyakan tentang pekerjaan. Hingga pada akhirnya terciumlah
aroma perselingkuhan Ibunya dengan pria lain. Suatu hari Dania melihat
ponsel Ibunya tergeletak di atas meja, Ia memberanikan diri untuk
menggenggam ponsel tersebut tanpa sepengetahuan Ibunya, Ia membaca pesan
singkat, Ia memperhatikan secara detail tiap kata-katanya dan matanya
seakan mau keluar, terbelalak saat menemukan kata “Sayang”. Dania tak
percaya dengan apa yang dia lihat, ia sempat beranggapan “mungkin itu
salah kirim”, namun saat membuka pesan singkat yang lain kata itu pun
masih menghiasi layar ponsel. Ia meyakini aroma perselingkuhan itu bukan
sekedar aroma tapi memang nyata adanya perselingkuhan yang terjadi.
Pada saat itulah tidur Dania mulai menjadi tak karuan dan mimpi
perceraian Ayah dan Ibunya pun mulai menghantuinya. Dania menceritakan
mimpinya kepada Ayah dan Kakak perempuan, mimpi tentang pertemuannya
dengan Ibu dan pria lain.
Ketika itu Dania yang sedang beradara di
kamarnya pun beranjak dari tempat tidurnya, perlahan lahan keluar
kamar, saat mendengar suara percakapan gaduh dari ruang keluarga, Ia
melihat kedua orangtuanya sedang bersi tegang, langkanya pun terhenti,
Ia bersembunyi di balik dinding yang berada cukup dekat dengan posisi
orangtuanya, hingga ia dapat menyaksikan secara jelas apa yang sedang
terjadi. Suara orangtuanya tak begitu jelas terdengar hingga Dania harus
memasang telinganya baik-baik saat mendengar percakapan mereka.
“Mas
saya mau cerai, saya mau nikah dengan lelaki lain” ucap Ibu sambil
menatap Ayah, dan tak lama seorang lelaki yang masih terlihat tampah,
mapan, dan lebih muda dari Ayah datang mengampiri Ibu, lelaki itu
mencium kening dan menggandeng tangan Ibu. Ayah melihat perlakuan lelaki
itu terhadap Istrinya tak bisa berkutik, diam saja, menatap Ibu dengan
wajah sangat kecewa. Dania tak tahan atas sikap lelaki itu bermesraan
dengan Ibunya pun beranikan diri untuk keluar dari tempat
persembunyiannya. Dania melangkahkan kakinya tanpa ragu menuju Ayah, Ibu
dan lelaki muda itu berada. Wajahnya terlihat memerah, seperti api yang
menyala-nyala, nafasnya tak beraturan, Ia tak sanggup menahan emosi,
langkahnya berhenti tepat disebelah Ayah, dihadapan Ibu dan Lelaki itu.
“Oh,,
jadi ini lelaki yang sering menelepon Ibu dan ngirim pesan singkat
dengan kata-kata Sayang? Ini Bu?” ucap Dania dengan nada sedikit di
tekan pada saat bilang ‘Sayang’, Dania melihat lelaki muda itu dengan
tatapan sinis dan tak sedikit pun senyuman hinggap diwajah Dania. Lelaki
itu pun melihat Dania tak kalah sinis dan Ia sempat tersenyum tipis
saat Dania berbicara.
“Wah hebat yah Ibu, melepaskan Ayah hanya
untuk lelaki ini.!!” Lanjut Dania dengan nada semakin tinggi, mata
seakan ingin keluar dan sepertinya masih banyak yang ia ingin ucap kan
terhadap Ibunya namun Ayahnya lebih dulu memegang tangan Dania, Dania
paham itu adalah sebuah kode agar ia berhenti mengatakan yang tak pantas
ia katakan kepada Ibunya. Dania menarik nafas panjang panjang dan
mengeluarkannya “huff”, ia berkali kali melakukan hal itu.
“Saya
tidak akan ceraikan kamu, Bu. Bagaimana dengan anak kita nantinya,
kasihan mereka kalau kita bercerai, mereka masih membutuhkan kasih
sayang kita.” ucap Ayah memecah kesunyian, tatapan matanya menyapu
seluruh isi ruangan, lalu menatap dania yang berada di sampingnya, kedua
tangannya merangkul pundak Dania, kini tatapannya berbinar-binar seakan
menahan butiran mutiara keluar dari persembunyiannya. Ibu terdiam
mendengarkan perkataan Ayah, matanya menatap lelaki muda itu.
“Anak?
Kita bagi dua aja untuk hak asuh Anak. Saya akan membawa Dani ikut
dengan saya dan lelaki ini.” Ucap Ibu melirik ke arah Ayah lalu
mengalihkan pandangannya ke Lelaki Muda itu dengan senyum kecil. Lelaki
itu pun tersenyum penuh kemenangan diwajahnya, Ia merangkul Ibunya,
namun Ibu mencoba menolaknya, Ia menurunkan tanggan Lelaki Muda itu.
Tampak sekali Lelaki Muda itu ingin memamerkan kemesraannya di depan
Ayah dan Dania.
“loh ko begitu Bu?! Ibu sekarang berubah, bukan
tidak seperti Ibuku yang dulu.! Apa karena Lelaki ini?!” Ucap Dania
sambil menggeleng-ngelengkan kepalanya, seakan Ia tak menyangka apa yang
telah di katakna Ibunya, nada bicaranya sedikit tinggi saat menyebutkan
kalimat “apa karena Lelaki ini” dan tangannya pun reflek menunjuk wajah
Lelaki Muda.
“Sabar, sabar, Nak” ucap Ayah yang mencoba menurun
tangan Dania dari hadapan Lelaki Muda itu. Ayah pun menjauhkan Dania
dari Ibu.
PLAAAKKK..!! sebuah tangan
mendarat tapat di pipi Dania membentuk tato berwarna merah. Dania
memegangi wajah yang bertato itu, tersentak tak percaya apa yang
dilakukan Ibunya. Ayahnya sempat ingin membalas tato tersebut diwajah
Istrinya namun seketika tangan Ayah dihalang oleh Lelaki Muda itu.
“Mungkin
saya harus memberikan sebuah tamparan agar mulutmu itu tak banyak
bicara” ucap Ibu dengan nada kebencian. Ibu beranjak dari tempatnya,
membalikan badannya dan pergi ke luar rumah bersama lelaki muda itu.
Dania hanya punggung mereka yang seakan menjauh dan akhirnya menghilang
dari pandangan.
Setelah menceritakan semuanya, hati Dania terasa
sedikit lega, plong. Kakak permpuannya, Sari. pun ikut menceritakan apa
yang dilihatnya selama ini “Iya, Teteh juga pernah liat ibu menerima
telepon lama banget pas Ayah piket dikantor” ucap Sari meyakinkan. Ayah
hanya tersenyum mendengarkan ucapan Sari.
“Ibumu itu sedang
diguna-guna, Ayah sudah cerita masalah ini kepada Nenek dan Uwa, tidak
usah khwatir, kamu konsentrasi belajar aja yah nak” ucap Ayah, tatapan
matanya melihat kearah depan, tak jelas apa yang dilihatnya.
“Guna-guna?”
ucap Dania dan Sari secara serempak dan mengalihkan pandangannya ke
arah Ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk beberapakali. Tak bisa di
percaya, apa yang telah ucapkan oleh Ayahnya tentang guna-guna atau ilmu
hitam. Namun ketika hampir setiap malam Dania mendengarkan suara gaduh
dari kamar Orang tuanya, melihat Orang tuanya tidur terpisah dan semakin
jarang bercengkrama, perlahan-lahan membuat Dania yakini akan guna-guna
atau ilmu hitam itu hinggap di Ibunya.
********
“Arrggghhtt”
Dania berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan segala beban yang Ia
rasakan. Air matanya mulai mengering, Ia menangis tanpa air mata. Ia
merebahkan tubuhnya di bangku panjang, yang sedari tadi ditempatinya.
Tubuh Dania menggigil, kedinginan. Hembusan angin, membuat tubuhnya
menggigil, Ia mencoba menggosok-gosokkan tangannya ke badan, memeluk
erat tubuhnya, mencoba menghangatkan dirinya sendiri hingga matanya
terasa berat dan akhirnya tertidur.
“Dania,, Dania” terdengar
suara Ayah yang semakin lama semakin mendekat, Dania membuka matanya
saat mendengar suara itu, Ia tak memperdulikan suara ayahnya, Ia tak
sanggup berlari untuk menjauh dari Ayahnya, matanya terasa sembab,
tubuhnya kini membeku, seluruh badannya terlihat pucat.
Dania
melihat kedepan dengan tatapan kosong, melihat hujan sudah mulai reda,
langit terlihat sedikit lebih cerah, namun tiupan angin masih sangat
kencang.
“Daniiiiiaaaa, Ya Tuhan, kamu pucat sekali Nak” teriak
Ayah saat melihat Dania yang terbaring lemas diatas kursi, Ayah berlari
menghampiri Dania, memeluk tubuh Dania, mengusap-ngusap wajah dan kepala
Dania. Dania tak bisa mengelak, Ia hanya diam tak berdaya.
“Nak,
maafkan Ayah, Ayah tak mampu jadi kepala keluarga yang baik,” ucap Ayah
sambil mencoba menggendong Dania, tak sepatah kata pun terucap dari
bibir Dania, “Ayo kita pulang nak” ajak Ayah, air mata Ayah pun tumpah
saat menggendong Dania, Dania tak tega melihat Ayahnya menangis, Ia
mencoba menghapus air mata Ayahnya, Ayahnya tersenyum kepada Dania,
Dania mencoba memejamkan mata, mendekap lebih erat di pelukan Ayahnya,
Ia merasa sangat nyaman di gendong Ayahnya.
“Ayah, Dania,,”
terdengar samar-samar suara langkah kaki yang mendekat dan tiba-tiba
saja ada yang menyentuh dahi Dania saat memasuki pintu rumahnya. Dania
membuka mata, Ia melihat kakak perempuannya dan adiknya, Sari dan Dani
berada di hadapannya, Dania mencoba tersenyum kepada Mereka, Namun Dania
tak melihat Ibunya “Kemana Ibunya?” tanya Dania dalam hati. Sari adalah
kakak perempuan Dania, Ia berumur tiga tahun lebih tua dari Dania,
sekarang Ia duduk di bangku SMA dan Dani adalah adik laki-laki Dania, Ia
berumur lima tahun lebih muda dari pada Dania, Ia sekarang duduk di
bangku SD.
“Ya Tuhan, Dania badannya panas sekali,” ucap kakak perempuannya setelah memegang dahi Dania.
“Awas,
awas Dania mau lewat, Sari buatkan air hangat segera, terus buatkan teh
hangat juga untuk Dania” ucap Ayahnya sambil membawa Dania ke kamar,
membaringkan Dania diatas kasur, Ayah langsung keluar kamar setelah
membaringkan Dania diatas kasur, tak lama Ibu datang membawa air hangat
dan teh hangat yang di buatkan oleh Sari, wajah Ibunya terlihat beda
dari biasanya, sedikit kusut dan tak bersemangat. Ibu menggantikan baju
Dania, setelah itu Ia mengambilkan cangkir berisikan teh hangat yang
berada diatas meja, dan membantu meminumkan teh hangat untuk Dania.
Tubuh Dania kini sudah sedikit membaik, Ibu beranjak bangun dan keluar
kamar Dania setelah mengusap-ngusap rambut dan mencium kening Dania.
Semua
anggota keluarga satu persatu masuk dan berkumpul dikamar Dania, mulai
dari Ayah, Dani, Sari dan yang terakhir Ibu. Dania menatap satu persatu
dari Mereka dengan wajah bertanya-tanya.
“Ibu sudah membicarakan
ini pada mba Sari dan adikmu Dani juga Ayahmu” ucap Ibu lirih dengan
wajah menunduk dan mata mulai berkaca-kaca, semua pandangan tertuju pada
Ibu, Mereka menatap dengan sangat serius.
“Ibu akan menenangkan
diri dirumah nenek, di Serang, Banten. Ibu sudah memutuskan akan pergi
bersama Dani.” lanjut Ibu sambil melirik Dania, kemudian menatap Dani
lekat-lekat. Dania tahu bahwa adiknya Dani itu memang sangat dekat
dengan Ibunya, Dania juga tahu kalau Dani adalah anak kesayangan Ibunya,
mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya. Sedangkan kakak
perempuannya yaitu Sari, dia sangatlah dekat dengan Ayahnya, kalau ada
masalah apapun Sari pasti membela Ayahnya, seperti masalah ini, dia
sangatlah kontra dengan Ibunya. Namun Dania, dia dekat dengan keduanya,
dia tak membela siapapun, ketika terjadi masalah.
“Ibu akan
berangkat besok pagi” ucap Ibu memecah lamunan Dania, Dania menangkap
tatapan Ibunya yang sedang menatapnya, Ibu tersenyum kecil kepada Dania,
Dania mencoba mengalihkan pandangannya, tak sanggup menatap mata
Ibunya.
Esokan harinya, dipagi buta, Ibu membangunkan Dania yang
masih tertidur di dalam kamarnya, Ibu berpamitan mulai dari Ayah, Sari
dan Dania. Ibu berpesan kepadaku agar menjaga diri baik-baik. Kami
menghantarkan Ibu sampai terminal, Dania melihat Ibunya menangis dibalik
jendela bis, Dania ingin sekali menghapus air mata Ibunya, Ia tak ingin
Ibunya menanggis. “Rencana Allah itu lebih indah dari pada rencana
manusia” ucap Dania dalam hati, mencoba menguatkan diri.
***********
(Satu bulan kemudian)
Ting
tong,, ting tong,, suara bel dirumah Dania berbunyi. Dania sedang asik
membaca novel dikamarnya pun langsung keluar kamar, Dania melihat
Ayahnya sedang duduk di depan televisi dan kakak perempuannya sedang
memasak di dapur. Dania berjalan menghampiri Ayahnya, Ia menatap Ayahnya
lekat-lekat,bermaksud agar Ayahnya sadar kalau sedang di perhatikan.
Namun Ayahnya tak menyadari bahwa Dania sedang memperhatikan. Hingga
akhirnya Dania memutuskan untuk memanggil Ayahnya.
“Ssstt,, sstt,,
Ayah,” ucap Dania dengan nada bisik-bisik, Ayah mencoba mencari sumber
suara tersebut, hingga akhirnya Ayah melihat Dania yang sedang tersenyum
kepadanya,
“Apa Dania?” jawab ayah sambil tersenyum kepadanya
“Itu ada tamu” ucap Dania,
“Udah kamu aja yang membukakan pintu” jawab Ayah sambil mengerutkan dahinya dan mengalihkan pandangannya kearah televisi.
“Ih
engga mau ah, Ayah aja yang membukakan pintu, Dania tak mengenakan
kerudung khawatir lama jika Dania yang membukakan pintu” ucap Dania
sambil melirik ruang tamu”
Akhirnya Ayah pun beranjak dari tempat
duduknya, berjalan menghampiri ruang tamu, Dania mengikuti Ayahnya dari
belakang dengan wajah penasaran, Ia bersembunyi di balik dinding, hingga
wajahnya saja yang terlihat. Ayah mencoba membukakan pintu “krek” pintu
dibuka perlahan-lahan, terlihat disana seorang wanita paruh baya
berkerudung, mengenakan baju batik warna cokelat dan celana bahan warna
cokelat, bersama salah seorang anak laki-laki dengan potongan rambut
pendek, mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru dan celana levis.
Diluar tampak hujan deras, baju yang dikenakan keduanya terlihat sedikit
basah. Dania melihat Ayahnya sedikit mematung setelah membukakan pintu
tersebut, wanita paruh baya dan anak laki-laki itu pun mencoba tersenyum
kepada Ayah dan Dania, Dania mencoba mengecilkan pupil matanya matanya
agar terlihat lebih fokus.
“Ibu, Dani,,” teriak Dania saat
menyadari itu adalah Ibu dan Adiknya, Dania berlari menghampiri Mereka
dan memeluk hangat Ibunya, sudah lama sekali tidak menikmati pelukan
sehangat ini, air matanya pun mulai mengalir membasahi pipinya, begitu
pun Ibunya. Ibu pun mencium pipi Dania beberapakali, hingga wajah Dania
sedikit merah dan basah akan air mata Ibunya.
“Udah Nak, jangan
nangis, Ibu ada disini” ucap Ibu sambil menghapus air mata Dania dan
memeluk Dania kembali. Dania sempat melirik Ayahnya, Ayahnya masih diam
terpaku melihat Ibu dan anak laki-lakinya pulang kerumah, mata Ayah
mulai berkaca-kaca, terlihat bahwa Ayah menahan tangisannya. Sedangkan
Dani mulai mengusap-ngusapkan matanya dengan kedua tangan, matanya
memerah, sempat terdengar beberapakali isakan tanggis yang tertahan,
adiknya menangis.
“Ibu,,” terdengar suara dari belakang Dania,
Dania membalikan posisi badannya, menangkap sosok kakak perempuannya
yang mengenakan celemek dan memegang serbet, masih diam terpaku menatap
Ibu, hingga serbet di tanggannya pun terjatuh, Ibu pun menatapnya balik
dengan bibir yang bergetar dan air mata semakin deras. Dania pun mulai
melepaskan diri secara perlahan dari pelukan Ibunya. Tatapan kami semua
tertuju pada Sari, tetehku.
“Sari,, anakku,,” ucap Ibu dengan nada bergetar dan menyeka air mata yang ingin keluar dari matanya.
“Sini Nak,,” lanjut Ibu, Ibu membuka tanganya, menandakan ingin memeluk.
“Ibu,,
benerkah ini Ibu?” ucap Sari dengan bertanya-tanya, perlahan-lahan ia
menghampiri Ibunya, mata mulai memerah, air matanya jatuh setetes demi
setetes, Sari jatuh di pelukan Ibunya.
Semenjak hari itu semua
keadaan mulai membaik, tak pernah terdengar lagi suara gaduh pada malam
hari, dan Ibu pun sudah tidak menerima telepon secara sembunyi-sembunyi.
Namun Dania sedikit trauma setiap Ibunya menerima telepon dengan siapa
pun secara sembunyi-sembunyi. Dania khawatir kejadian seperti ini akan
terulang kembali. Waktu terus berjalan kejadian tersebut menjadi sebuah
kenangan yang tak terlupakan oleh Dania dan keluarganya.
****
Hari
ini Ayah dan Ibu mengajak kami, sekeluarga bertamasya ke Gubuk tua di
tengah hamparan pematang sawah. Ayah dan Ibu berada duduk berdua
dikursi, mempersiapkan makan siang yang dibawa dari rumah, sedangkan
Sari, Dania dan Dani, berlarian ke kesana kemari di tengah hamparan
sawah.
“Sari,, Dania,, Dani,, sini Nak” ucap Ibu yang terlihat
selesai mempersiapkan makan siang. “Iya sini,, kita makan siang dulu,,
liat nih Ibu memasak ikan bakar.” lanjut Ayah sambil menunjukan ikan
bakarnya. Sari, Dania, dan Dani berlari menghampiri Ayah dan Ibu.
“Nak,,
lihat itu” ucap Ibu melirik anak-anaknya yang berada bersebelahan
dengan Ayah dan Ibunya, Ibu mengalihkan pandangannya ke arah depan.
Sari, Dania, Dani mengikuti arah sorot mata Ibu.
“Subhanallah”
ucap Mereka bersamaan, tatapan mata mereka berkaca-kaca, kagum. saat
melihat pelangi yang terlihat jelas di depan mata mereka.
“Pelangi
itu muncul setelah hujan” ucap Ayah sembari melirik Ibu dan tersenyum,
terlihat wajah Ayah yang sangat bahagia, Ibu pun sadar dilirik Ayah dan
membalas senyuman itu.
“Ciyyee yang udah baikan” ucap Sari saat
melihat tingkah laku Ayah dan Ibunya. Ayah dan Ibu terlihat kikuk,
Mereka langsung memeluk Anak-anaknya sambil menatap pelangi.
“Iya,
pelangi itu muncul setelah hujan dan hujan itu pasti ada redanya,
seperti masalah pasti akan berakhir dan pasti berakhir dengan indah,
seperti ini.” ucap Dania dalam hati, mata Dania mulai berkaca-kaca,
sebelum butiran mutiara itu tumpah di pipinya, Ia segera menyekanya. Ia
melirik Ayah dan Ibunya saling pandang-pandang. Dania senang melihat
kedua orang tuanya seperti ini, akur dan damai.