“teng, teng, teng” lonceng
sekolah telah berbunyi, pertanda kegiatan belajar mengajar pun telah
usai, beberapa Murid dari kelas lain sudah keluar kelas terlebih dahulu,
ekspresi ceria terlihat di wajah-wajah Mereka, sepertinya Mereka ingin
bergegas pulang ke rumah. Namun di salah satu kelas terlihat semua Murid
masih mengemas alat tulisnya, memasukan perlengkapan alat tulis
menulis, seperti buku pelajaran, pulpen, pensil dan penghapusnya kedalam
tas. Begitupun dengan Dania, masih sibuk memasukan perlengkapan
menulisnya yang tergeletak diatas meja. Dania adalah salah satu Murid
yang bersekolah di SMPN 2 Tarogong, Garut, Jawa Barat. Sekarang, Ia
duduk di bangku kelas dua, terhitung sudah enam bulan Ia duduk dibangku
kelas dua, namun Ia belum bisa mengakrabkan dirinya dengan Murid-murid
yang lain. Dania bukan termasuk kriteria gadis yang supel dan bisa
menyapa semua orang yang belum dikenalnya. Tak lama Guru yang masih
berada di dalam kelas mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan ruang
kelas, diikuti oleh segerombolan Murid-muridnya. Kini ruang kelas
terlihat sepi dengan kondisi hanya ada beberapa orang di dalamnya, satu
persatu dari Mereka pun keluar ruang kelas untuk pulang.
“Dania, mau pulang bareng ga?” tanya salah satu teman Dania, saat melihat Dania sedang berdiri di samping kursi sembari membenahi posisi tas ransel yang dikenakannya. Dania mengenalnya sebagai Tami, salah satu Gadis paling ramah dikelas. Tami adalah teman pertama yang membuatnya merasa nyaman. Dania dan Tami, mereka selalu bersama kemana pun pergi, mulai dari makan bersama, ke kantin bersama, ke perpustakaan bersama, terkadang Mereka pun pulang bersama, sehingga muncullah sebuah pribahasa “Dimana ada Dania disana ada Tami”. Kebersamaan Mereka yang baru seumur Jagung belum bisa dibilang mencapai tahap Persahabatan karena Mereka masih saling menutupi mengenai permasalahan pribadinya, termasuk permasalahan keluarga.
Dania yang telah selesai membenahi tas ranselnya menoleh kearah Tami yang berada dibelakangnya. “Apa?” ucap Dania sambil menatap mata Tami, dia lupa apa yang baru saja Tami ucapkan. “Oh, pulang bareng yah?, nanti yah cek ponsel dulu yah, khawatir ada sms dari Ayah” lanjut Dania ketika Ia mulai ingat apa yang dikatakan Tami.
Tami hanya mengangguk, menunggu jawaban dari Dania. Pandangan Tami menyapu seluruh isi ruangan, tatapan matanya terhenti pada seorang siswi yang baru saja beranjak dari kursinya dan segera keluar kelas. Tami mengambil kursi di dekatnya dan Ia duduk diatasnya.
Dania mengambil ponsel di dalam tas. Ia menatap layar ponsenya, ternyata ada 2 pesan dan satu panggilan yang tidak terjawab, itu semua dari Ayah. Salah satu isi pesannya “Dania, Ayah ga bisa jemput, ayah lagi banyak kerjaan, kamu bisa kan pulang sendiri?” dan yang lain “Dania, kalau mau pulang bilang dulu sama Ayah”.
Dania mencoba berkali-kali menelpon Ayahnya namun tak kunjung diangkat, Dania melirik kearah Tami, Tami yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Dania pun menatap dengan bertanya-tanya, Dania hanya menggelengkan kepalanya, akhirnya Dania memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Ayahnya “Ayah, Dania pulang bersama Tami jadi Ayah tidak usah jemput Dania” dengan setengah gusar, Dania memasukan kembali ponsel kedalam tas.
“Dania yuk pulang, liat kelas udah sepi, tinggal kita berdua yang belum pulang” ajak Tami setelah menunggu beberapa menit, tanpa jawaban dari Dania, Ia sudah mulai bosan menunggu, Tami berdiri, bangun dari kursi.
“Aku khawatir hujan akan segera turun, langit sudah mulai mendung tuh” lanjut Tami sambil melihat keluar ruang kelas, langit sangat gelap, angin kencang mengoyahkan pepohonan membuat dedaunan gugur dari pohonnya, berserakan di sekitar koridor kelas bahkan ada yang masuk ke dalam kelas. Dania mengikuti arah sorot mata Tami, menatap keluar kelas. Dania menarik tangan Tami, berlari ke keluar kelas, Mereka menuju gerbang sekolah, tempat dimana Mereka harus menunggu Bus.
Mereka melambaikan tangan, memberhentikan saat melihat bus yang mereka ingin naiki telah datang, Mereka melangkah ke dalam bus, bus ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang disana. Dania memilih bangku di pertengahan dan duduk berdekatan dengan jendela, diikuti Tami yang duduk disebelahnya.
Hembusan angin terasa sangat kencang, membuat Dania berkali-kali harus merapihkan kerudungnya yang tertiup angin, Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap keluar jendela. Awan mendung, hitam tampak sedang berjalan menuju tempat yang tepat untuk menurunkan semua beban yang terkandung didalamnya, air. Beberapakali terlihat kilat yang menyambar, tanpa suara.
Douuaaar! kilat yang sangat keras membuat semua penumpang tersentak kaget, air dari langit turun setetes demi setetes berjatuhan hingga akhirnya tumpah sangat deras, tangan Dania mencoba menyentuhnya di balik jendela, mengikuti setiap lekukan air yang mengalir di jendela.
“Dania, kamu turun dimana?” tanya Tami memecah kesunyian.
“Hem, di Leles, ini sudah sampai mana?” jawab Dania merilik ke arah Tami, lalu memalingkannya wajahnya, ke luar jendela, mencari petunjuk, alamat.
“Baru sampai…” jawab Tami melihat ke depan, jendela mobil bus.
“Bentar lagi saya turun, duluan yah Tam,” Dania memotong pembicaraan Tami, saat melihat Jembatan Leles, Garut, Jawa Barat. Dania beranjak dari tempat duduknya, berdiri, membenahi pakaian, kerudung dan posisi ranselnya, menghamipiri kendektur yang berada di dekat pintu, membisikan ke pada kendektur bahwasannya Ia akan berhenti di depan, setelah jembatan Leles.
“Yah bang, berhenti disini” ucap Dania kepada kendektur sambil memberikan ongkosnya, Ia melirik ke Tami dan terseyum, mengisyaratkan saya pulang duluan. Tami pun tersenyum balik ke Dania dan mengucapkan “Hati-hati dijalan”.
Hujan masih sangat deras, Dania mengkhawatirkan pakaiannya akan basah terkena air hujan, melihat pakaiannya. “Bismillahirohmanirohim” ucap Dania lirih dalam hati saat menuruni bus tersebut. Ia berlari ke sebuah ruko didepannya untuk berteduh, disana banyak orang yang sedang berteduh juga, sama seperti Dania. Dania mengusap-ngusap tubuh dan merapihkan kerudungnya yang terkena tetesan air hujan, Ia menangkap sosok Tami yang melambaikan tangannya dari dalam bus, Ia tersenyum kepada Dania. Dania yang terkejut melihat Tami pun segera melambaikan tangannya dan tersenyum, perlahan bus itu pergi, yang terlihat hanya bagian belakang bus, bus itu semakin menjauh dan kini tak terlihat lagi.
Dania melihat sekelilingnya banyak orang yang berteduh menunggu hujan reda. Tak sengaja Dania mendengar percakapan dua orang pelajar yang mengenakan pakaian SMA, yang satu memakai tas warna biru dan yang lain memakai tas berwarna hitam.
“Wah, hujan kaya gini mah, lama redanya” ucap salah seorang pelajar yang memakai tas warna berwarna hitam.
“Iya nih, kalau hujan kaya gini lama redanya, lanjut aja yuk perjalanannya, lagian udah terlanjur basah ini bajunya” jawab pelajar yang memakai tas berwarna biru sambil merapihkan bajunya, akhirnya mereka pun pergi di tengah hujan deras.
“Hem,, bener juga apa kata Mereka, tapi nanti apa kata Ibu, kalau Dania pulang basah kuyup” ucap Dania dalam hati dan menggaruk garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Akhirnya Ia pun memutuskan untuk pergi, beranjak dari tempatnya sekarang menuju rumahnya, menerjang hujan, tak peduli Ia akan basah kuyup dan dimarahi Ibunya.
Rumah Dania memang tak begitu jauh dari tempatnya berteduh. Dania berjalan di tengah hujan deras, “Syalalalala..” ucap Dania menari-nari di tengah hujan deras, di ambilnya bunga yang sedang bermekaran, wajahnya menengadah ke langit, tetesan air hujan menyentuh wajah.
“Sudah lama tak hujan-hujanan seperti ini, kalau Ibu tau pasti kena marah, semoga Ibu belum pulang” ucapnya lagi, kini tubuhnya sudah basah kuyup. Ia mempercepat langkahnya hingga tiba di depan rumahnya, rumah yang berada di pinggir jalan, dengan kondisi dinding berwarna abu-abu, pagar hitam setinggi dirinya.
Terdengar suara gaduh dari dalam rumah, Prraangg! suara benda pecah beradu dengan derasnya hujan.
“Ceraikan aku mas, ceraikan..!!!” suara itu terdengar cukup menggema, hingga menggetarkan gendang telinga Dania, langkahnya terhenti tepat di depan pintu rumah. “Itu mirip suara Ibu, jika itu benar suara Ibu lantas, Ibu sedang berbicara pada siapa? Apakah Ibu sedang berbicara dengan Ayah? Tapi kenapa Ibu berbicara seperti itu? Apakah Ibu bertengkar dengan Ayah?” sejumlah pertanyaan hinggap di pikiran Dania, membuat Ia khawatir dengan apa yang sedang terjadi. Kini tubuhnya seakan lemas, tak sanggup menompangnya. Dania semakin dihantui rasa penasaran, perlahan Ia masuk ke ruang utamanya, ruang keluarga. Ia melihat ke sekelilingnya penuh dengan pecahan kaca, Ia temui sosok lelaki paru baya yang biasa dipanggil Ayah, dilihatnya tubuh lelaki itu mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, sikap berdirinya tak segagah dahulu, tampak keriput menghiasi tubuhnya, rambutnya yang tak lagi hitam, dan sorot sinar matanya redup seperti ada kesedihan yang mendalam dihati lelaki itu.
Lelaki itu sedang berdiri menatap seorang perempuan yang berada di hadapannya, perempuan dengan vas bunga ditangan kanannya, seakan ingin dilemparkan kepada lelaki tersebut. Perempuan itu adalah seseorang yang dicintai dan telah dipersuntingnya tiga puluhtahun yang lalu. Perbedaan umur yang cukup terlampau jauh membuat sang perempuan masih elok nan cantik, tubuhnya masih terlihat kencang, tak banyak keriput yang hinggap didirinya, rambutnya pun tak banyak yang memutih, dia adalah istri lelaki paru baya segaligus Ibu bagi Dania dan dua orang saudaranya.
Dania manatap Mereka tak percaya, nafasnya tak beraturan, Ia mulai merasakan perih dan sesak dibagian dada sebelah kiri, bibirnya bergetar menahan amarah yang tersampaikan, tak ayal air mata yang menyerupai berlian bergulir merambati pipi Dania.
“Ayah,, Ibu,,” ucap Dania lirih, menatap sosok menatap sepasang Pasutri secara bergantian, Ia mencoba menyekat air mata yang keluar dari matanya.
“Dania” ucap Ibu yang menyadari kedatangan Dania, vas bunga yang di pengang Ibu pun terjatuh, tubuhnya tak mampu menompang, akhirnya Ibu pun duduk, terjatuh. Ayah mencari sosok yang diucapkan oleh Ibunya, Ayah menemukan sosok Dania yang berada disampingnya, Ia terkejut, sangat terkejut.
“Dania, Ayah bisa jelaskan ini semua,” ucap Ayah, perlahan mendekati Dania. Dania mundur selangkah demi selangkah, akhirnya Dania membalikan badannya dan lari sekencang kencangnya keluar rumah.
“Dania mau kemana? Hujan Nak.” teriak Ayah dari dalam rumah, mencoba mengenjar Dania, Ibu hanya duduk terdiam, menangis, menyesali perbuatannya. Dania mengabaikan ucapan Ayahnya. Dania berlari menerobos hujan yang amat deras, hingga seluruh tubuhnya basah, terkena air hujan.
“Dania,, Dania, tunggu Nak” suara Ayah yang masih mengikutinya dari belakang, semua orang yang berada di sekeliling Dania memperhatikan dan mencoba memanggil dirinya. Namun Dania tak memperdulikannya, Ia tetap berlari, tanpa arah, tak tahu mau kemana, Ia hanya ingin menjauh dari rumah dan Ayahnya.
Setelah berlari jauh dari rumahnya dan tak terdengar lagi suara Ayahnya, Ia melihat sebuah gubuk kecil di tengah hamparan sawah luas yang sedang menguning, gubuk itu terasa tak asing di mata Dania, dia pernah ke gubuk ini satu bulan yang lalu bersama keluarga, gubuk ini tak berubah sedikit pun, hanya terlihat sedikit basah. Ia berlari kesana untuk berteduh, menghampiri sebuah bangku panjang, duduk disana, menantap ke depan, ke hamparan sawah, membayangkan yang baru saja terjadi di depan matanya. Dania memang sering mendengar kedua orang tuanya bertengkar pada malam hari saat anak-anaknya sedang tidur, namun Ia tidak menyangka kalau pada akhirnya akan ada pertengkaran sebesar ini, hingga memecahkan beberapa vas bunga dirumah.
Seragam sekolah yang basah, angin yang berhembus cukup kencang diiringi tetesan air yang turun dari langit membuat suasana sekitarnya menjadi membeku. Kini pikirannya pun melayang menelusuri jejak-jejak yang basah dalam benaknya..
********
Hari ini, hari pertama Dania memasuki bangku SMP, pagi hari semua keadaan masih terlihat lancar seperti biasanya, hingga pada malam tepatnya pada suasana makan malam sedang berlangsung, bincang-bincang meja makan pun dimulai, kami memang sering menceritakan segala kejadian hari ini dimeja makan, karena hanya saat itulah semua anggota keluarga bisa berkumpul semua. Ibu menceritakan kondisi keadaan ekonomi yang sedang kurang baik dan Ia pun di tugaskan untuk pergi keluar kota pada esok hari. Kami pun memaklumi kondisi ini. Sari, Dania dan Dani siap jika uang jajannya dikurangi, begitu pun Ayah, Ia siap mengurangi jatah uang untuk merokok. Dan masalah Ibu ditugaskan keluar kota, yah mungkin itu wajar, karena tugas dari atasannya, ketuanya. Namun seiring berjalannya waktu, entah kenapa Ibu semakin sering ditugaskan untuk bolak-balik luar kota dan setiap pulang dari keluar kota Ibu lebih sering menerima telepon secara sembunyi-sembunyi, Dania mengangap hal itu wajar, mungkin rekan kerjanya yang menanyakan tentang pekerjaan. Hingga pada akhirnya terciumlah aroma perselingkuhan Ibunya dengan pria lain. Suatu hari Dania melihat ponsel Ibunya tergeletak di atas meja, Ia memberanikan diri untuk menggenggam ponsel tersebut tanpa sepengetahuan Ibunya, Ia membaca pesan singkat, Ia memperhatikan secara detail tiap kata-katanya dan matanya seakan mau keluar, terbelalak saat menemukan kata “Sayang”. Dania tak percaya dengan apa yang dia lihat, ia sempat beranggapan “mungkin itu salah kirim”, namun saat membuka pesan singkat yang lain kata itu pun masih menghiasi layar ponsel. Ia meyakini aroma perselingkuhan itu bukan sekedar aroma tapi memang nyata adanya perselingkuhan yang terjadi. Pada saat itulah tidur Dania mulai menjadi tak karuan dan mimpi perceraian Ayah dan Ibunya pun mulai menghantuinya. Dania menceritakan mimpinya kepada Ayah dan Kakak perempuan, mimpi tentang pertemuannya dengan Ibu dan pria lain.
Ketika itu Dania yang sedang beradara di kamarnya pun beranjak dari tempat tidurnya, perlahan lahan keluar kamar, saat mendengar suara percakapan gaduh dari ruang keluarga, Ia melihat kedua orangtuanya sedang bersi tegang, langkanya pun terhenti, Ia bersembunyi di balik dinding yang berada cukup dekat dengan posisi orangtuanya, hingga ia dapat menyaksikan secara jelas apa yang sedang terjadi. Suara orangtuanya tak begitu jelas terdengar hingga Dania harus memasang telinganya baik-baik saat mendengar percakapan mereka.
“Mas saya mau cerai, saya mau nikah dengan lelaki lain” ucap Ibu sambil menatap Ayah, dan tak lama seorang lelaki yang masih terlihat tampah, mapan, dan lebih muda dari Ayah datang mengampiri Ibu, lelaki itu mencium kening dan menggandeng tangan Ibu. Ayah melihat perlakuan lelaki itu terhadap Istrinya tak bisa berkutik, diam saja, menatap Ibu dengan wajah sangat kecewa. Dania tak tahan atas sikap lelaki itu bermesraan dengan Ibunya pun beranikan diri untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dania melangkahkan kakinya tanpa ragu menuju Ayah, Ibu dan lelaki muda itu berada. Wajahnya terlihat memerah, seperti api yang menyala-nyala, nafasnya tak beraturan, Ia tak sanggup menahan emosi, langkahnya berhenti tepat disebelah Ayah, dihadapan Ibu dan Lelaki itu.
“Oh,, jadi ini lelaki yang sering menelepon Ibu dan ngirim pesan singkat dengan kata-kata Sayang? Ini Bu?” ucap Dania dengan nada sedikit di tekan pada saat bilang ‘Sayang’, Dania melihat lelaki muda itu dengan tatapan sinis dan tak sedikit pun senyuman hinggap diwajah Dania. Lelaki itu pun melihat Dania tak kalah sinis dan Ia sempat tersenyum tipis saat Dania berbicara.
“Wah hebat yah Ibu, melepaskan Ayah hanya untuk lelaki ini.!!” Lanjut Dania dengan nada semakin tinggi, mata seakan ingin keluar dan sepertinya masih banyak yang ia ingin ucap kan terhadap Ibunya namun Ayahnya lebih dulu memegang tangan Dania, Dania paham itu adalah sebuah kode agar ia berhenti mengatakan yang tak pantas ia katakan kepada Ibunya. Dania menarik nafas panjang panjang dan mengeluarkannya “huff”, ia berkali kali melakukan hal itu.
“Saya tidak akan ceraikan kamu, Bu. Bagaimana dengan anak kita nantinya, kasihan mereka kalau kita bercerai, mereka masih membutuhkan kasih sayang kita.” ucap Ayah memecah kesunyian, tatapan matanya menyapu seluruh isi ruangan, lalu menatap dania yang berada di sampingnya, kedua tangannya merangkul pundak Dania, kini tatapannya berbinar-binar seakan menahan butiran mutiara keluar dari persembunyiannya. Ibu terdiam mendengarkan perkataan Ayah, matanya menatap lelaki muda itu.
“Anak? Kita bagi dua aja untuk hak asuh Anak. Saya akan membawa Dani ikut dengan saya dan lelaki ini.” Ucap Ibu melirik ke arah Ayah lalu mengalihkan pandangannya ke Lelaki Muda itu dengan senyum kecil. Lelaki itu pun tersenyum penuh kemenangan diwajahnya, Ia merangkul Ibunya, namun Ibu mencoba menolaknya, Ia menurunkan tanggan Lelaki Muda itu. Tampak sekali Lelaki Muda itu ingin memamerkan kemesraannya di depan Ayah dan Dania.
“loh ko begitu Bu?! Ibu sekarang berubah, bukan tidak seperti Ibuku yang dulu.! Apa karena Lelaki ini?!” Ucap Dania sambil menggeleng-ngelengkan kepalanya, seakan Ia tak menyangka apa yang telah di katakna Ibunya, nada bicaranya sedikit tinggi saat menyebutkan kalimat “apa karena Lelaki ini” dan tangannya pun reflek menunjuk wajah Lelaki Muda.
“Sabar, sabar, Nak” ucap Ayah yang mencoba menurun tangan Dania dari hadapan Lelaki Muda itu. Ayah pun menjauhkan Dania dari Ibu.
PLAAAKKK..!! sebuah tangan mendarat tapat di pipi Dania membentuk tato berwarna merah. Dania memegangi wajah yang bertato itu, tersentak tak percaya apa yang dilakukan Ibunya. Ayahnya sempat ingin membalas tato tersebut diwajah Istrinya namun seketika tangan Ayah dihalang oleh Lelaki Muda itu.
“Mungkin saya harus memberikan sebuah tamparan agar mulutmu itu tak banyak bicara” ucap Ibu dengan nada kebencian. Ibu beranjak dari tempatnya, membalikan badannya dan pergi ke luar rumah bersama lelaki muda itu. Dania hanya punggung mereka yang seakan menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangan.
Setelah menceritakan semuanya, hati Dania terasa sedikit lega, plong. Kakak permpuannya, Sari. pun ikut menceritakan apa yang dilihatnya selama ini “Iya, Teteh juga pernah liat ibu menerima telepon lama banget pas Ayah piket dikantor” ucap Sari meyakinkan. Ayah hanya tersenyum mendengarkan ucapan Sari.
“Ibumu itu sedang diguna-guna, Ayah sudah cerita masalah ini kepada Nenek dan Uwa, tidak usah khwatir, kamu konsentrasi belajar aja yah nak” ucap Ayah, tatapan matanya melihat kearah depan, tak jelas apa yang dilihatnya.
“Guna-guna?” ucap Dania dan Sari secara serempak dan mengalihkan pandangannya ke arah Ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk beberapakali. Tak bisa di percaya, apa yang telah ucapkan oleh Ayahnya tentang guna-guna atau ilmu hitam. Namun ketika hampir setiap malam Dania mendengarkan suara gaduh dari kamar Orang tuanya, melihat Orang tuanya tidur terpisah dan semakin jarang bercengkrama, perlahan-lahan membuat Dania yakini akan guna-guna atau ilmu hitam itu hinggap di Ibunya.
********
“Arrggghhtt” Dania berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan segala beban yang Ia rasakan. Air matanya mulai mengering, Ia menangis tanpa air mata. Ia merebahkan tubuhnya di bangku panjang, yang sedari tadi ditempatinya. Tubuh Dania menggigil, kedinginan. Hembusan angin, membuat tubuhnya menggigil, Ia mencoba menggosok-gosokkan tangannya ke badan, memeluk erat tubuhnya, mencoba menghangatkan dirinya sendiri hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur.
“Dania,, Dania” terdengar suara Ayah yang semakin lama semakin mendekat, Dania membuka matanya saat mendengar suara itu, Ia tak memperdulikan suara ayahnya, Ia tak sanggup berlari untuk menjauh dari Ayahnya, matanya terasa sembab, tubuhnya kini membeku, seluruh badannya terlihat pucat.
Dania melihat kedepan dengan tatapan kosong, melihat hujan sudah mulai reda, langit terlihat sedikit lebih cerah, namun tiupan angin masih sangat kencang.
“Daniiiiiaaaa, Ya Tuhan, kamu pucat sekali Nak” teriak Ayah saat melihat Dania yang terbaring lemas diatas kursi, Ayah berlari menghampiri Dania, memeluk tubuh Dania, mengusap-ngusap wajah dan kepala Dania. Dania tak bisa mengelak, Ia hanya diam tak berdaya.
“Nak, maafkan Ayah, Ayah tak mampu jadi kepala keluarga yang baik,” ucap Ayah sambil mencoba menggendong Dania, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Dania, “Ayo kita pulang nak” ajak Ayah, air mata Ayah pun tumpah saat menggendong Dania, Dania tak tega melihat Ayahnya menangis, Ia mencoba menghapus air mata Ayahnya, Ayahnya tersenyum kepada Dania, Dania mencoba memejamkan mata, mendekap lebih erat di pelukan Ayahnya, Ia merasa sangat nyaman di gendong Ayahnya.
“Ayah, Dania,,” terdengar samar-samar suara langkah kaki yang mendekat dan tiba-tiba saja ada yang menyentuh dahi Dania saat memasuki pintu rumahnya. Dania membuka mata, Ia melihat kakak perempuannya dan adiknya, Sari dan Dani berada di hadapannya, Dania mencoba tersenyum kepada Mereka, Namun Dania tak melihat Ibunya “Kemana Ibunya?” tanya Dania dalam hati. Sari adalah kakak perempuan Dania, Ia berumur tiga tahun lebih tua dari Dania, sekarang Ia duduk di bangku SMA dan Dani adalah adik laki-laki Dania, Ia berumur lima tahun lebih muda dari pada Dania, Ia sekarang duduk di bangku SD.
“Ya Tuhan, Dania badannya panas sekali,” ucap kakak perempuannya setelah memegang dahi Dania.
“Awas, awas Dania mau lewat, Sari buatkan air hangat segera, terus buatkan teh hangat juga untuk Dania” ucap Ayahnya sambil membawa Dania ke kamar, membaringkan Dania diatas kasur, Ayah langsung keluar kamar setelah membaringkan Dania diatas kasur, tak lama Ibu datang membawa air hangat dan teh hangat yang di buatkan oleh Sari, wajah Ibunya terlihat beda dari biasanya, sedikit kusut dan tak bersemangat. Ibu menggantikan baju Dania, setelah itu Ia mengambilkan cangkir berisikan teh hangat yang berada diatas meja, dan membantu meminumkan teh hangat untuk Dania. Tubuh Dania kini sudah sedikit membaik, Ibu beranjak bangun dan keluar kamar Dania setelah mengusap-ngusap rambut dan mencium kening Dania.
Semua anggota keluarga satu persatu masuk dan berkumpul dikamar Dania, mulai dari Ayah, Dani, Sari dan yang terakhir Ibu. Dania menatap satu persatu dari Mereka dengan wajah bertanya-tanya.
“Ibu sudah membicarakan ini pada mba Sari dan adikmu Dani juga Ayahmu” ucap Ibu lirih dengan wajah menunduk dan mata mulai berkaca-kaca, semua pandangan tertuju pada Ibu, Mereka menatap dengan sangat serius.
“Ibu akan menenangkan diri dirumah nenek, di Serang, Banten. Ibu sudah memutuskan akan pergi bersama Dani.” lanjut Ibu sambil melirik Dania, kemudian menatap Dani lekat-lekat. Dania tahu bahwa adiknya Dani itu memang sangat dekat dengan Ibunya, Dania juga tahu kalau Dani adalah anak kesayangan Ibunya, mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya. Sedangkan kakak perempuannya yaitu Sari, dia sangatlah dekat dengan Ayahnya, kalau ada masalah apapun Sari pasti membela Ayahnya, seperti masalah ini, dia sangatlah kontra dengan Ibunya. Namun Dania, dia dekat dengan keduanya, dia tak membela siapapun, ketika terjadi masalah.
“Ibu akan berangkat besok pagi” ucap Ibu memecah lamunan Dania, Dania menangkap tatapan Ibunya yang sedang menatapnya, Ibu tersenyum kecil kepada Dania, Dania mencoba mengalihkan pandangannya, tak sanggup menatap mata Ibunya.
Esokan harinya, dipagi buta, Ibu membangunkan Dania yang masih tertidur di dalam kamarnya, Ibu berpamitan mulai dari Ayah, Sari dan Dania. Ibu berpesan kepadaku agar menjaga diri baik-baik. Kami menghantarkan Ibu sampai terminal, Dania melihat Ibunya menangis dibalik jendela bis, Dania ingin sekali menghapus air mata Ibunya, Ia tak ingin Ibunya menanggis. “Rencana Allah itu lebih indah dari pada rencana manusia” ucap Dania dalam hati, mencoba menguatkan diri.
***********
(Satu bulan kemudian)
Ting tong,, ting tong,, suara bel dirumah Dania berbunyi. Dania sedang asik membaca novel dikamarnya pun langsung keluar kamar, Dania melihat Ayahnya sedang duduk di depan televisi dan kakak perempuannya sedang memasak di dapur. Dania berjalan menghampiri Ayahnya, Ia menatap Ayahnya lekat-lekat,bermaksud agar Ayahnya sadar kalau sedang di perhatikan. Namun Ayahnya tak menyadari bahwa Dania sedang memperhatikan. Hingga akhirnya Dania memutuskan untuk memanggil Ayahnya.
“Ssstt,, sstt,, Ayah,” ucap Dania dengan nada bisik-bisik, Ayah mencoba mencari sumber suara tersebut, hingga akhirnya Ayah melihat Dania yang sedang tersenyum kepadanya,
“Apa Dania?” jawab ayah sambil tersenyum kepadanya
“Itu ada tamu” ucap Dania,
“Udah kamu aja yang membukakan pintu” jawab Ayah sambil mengerutkan dahinya dan mengalihkan pandangannya kearah televisi.
“Ih engga mau ah, Ayah aja yang membukakan pintu, Dania tak mengenakan kerudung khawatir lama jika Dania yang membukakan pintu” ucap Dania sambil melirik ruang tamu”
Akhirnya Ayah pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri ruang tamu, Dania mengikuti Ayahnya dari belakang dengan wajah penasaran, Ia bersembunyi di balik dinding, hingga wajahnya saja yang terlihat. Ayah mencoba membukakan pintu “krek” pintu dibuka perlahan-lahan, terlihat disana seorang wanita paruh baya berkerudung, mengenakan baju batik warna cokelat dan celana bahan warna cokelat, bersama salah seorang anak laki-laki dengan potongan rambut pendek, mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru dan celana levis. Diluar tampak hujan deras, baju yang dikenakan keduanya terlihat sedikit basah. Dania melihat Ayahnya sedikit mematung setelah membukakan pintu tersebut, wanita paruh baya dan anak laki-laki itu pun mencoba tersenyum kepada Ayah dan Dania, Dania mencoba mengecilkan pupil matanya matanya agar terlihat lebih fokus.
“Ibu, Dani,,” teriak Dania saat menyadari itu adalah Ibu dan Adiknya, Dania berlari menghampiri Mereka dan memeluk hangat Ibunya, sudah lama sekali tidak menikmati pelukan sehangat ini, air matanya pun mulai mengalir membasahi pipinya, begitu pun Ibunya. Ibu pun mencium pipi Dania beberapakali, hingga wajah Dania sedikit merah dan basah akan air mata Ibunya.
“Udah Nak, jangan nangis, Ibu ada disini” ucap Ibu sambil menghapus air mata Dania dan memeluk Dania kembali. Dania sempat melirik Ayahnya, Ayahnya masih diam terpaku melihat Ibu dan anak laki-lakinya pulang kerumah, mata Ayah mulai berkaca-kaca, terlihat bahwa Ayah menahan tangisannya. Sedangkan Dani mulai mengusap-ngusapkan matanya dengan kedua tangan, matanya memerah, sempat terdengar beberapakali isakan tanggis yang tertahan, adiknya menangis.
“Ibu,,” terdengar suara dari belakang Dania, Dania membalikan posisi badannya, menangkap sosok kakak perempuannya yang mengenakan celemek dan memegang serbet, masih diam terpaku menatap Ibu, hingga serbet di tanggannya pun terjatuh, Ibu pun menatapnya balik dengan bibir yang bergetar dan air mata semakin deras. Dania pun mulai melepaskan diri secara perlahan dari pelukan Ibunya. Tatapan kami semua tertuju pada Sari, tetehku.
“Sari,, anakku,,” ucap Ibu dengan nada bergetar dan menyeka air mata yang ingin keluar dari matanya.
“Sini Nak,,” lanjut Ibu, Ibu membuka tanganya, menandakan ingin memeluk.
“Ibu,, benerkah ini Ibu?” ucap Sari dengan bertanya-tanya, perlahan-lahan ia menghampiri Ibunya, mata mulai memerah, air matanya jatuh setetes demi setetes, Sari jatuh di pelukan Ibunya.
Semenjak hari itu semua keadaan mulai membaik, tak pernah terdengar lagi suara gaduh pada malam hari, dan Ibu pun sudah tidak menerima telepon secara sembunyi-sembunyi. Namun Dania sedikit trauma setiap Ibunya menerima telepon dengan siapa pun secara sembunyi-sembunyi. Dania khawatir kejadian seperti ini akan terulang kembali. Waktu terus berjalan kejadian tersebut menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan oleh Dania dan keluarganya.
****
Hari ini Ayah dan Ibu mengajak kami, sekeluarga bertamasya ke Gubuk tua di tengah hamparan pematang sawah. Ayah dan Ibu berada duduk berdua dikursi, mempersiapkan makan siang yang dibawa dari rumah, sedangkan Sari, Dania dan Dani, berlarian ke kesana kemari di tengah hamparan sawah.
“Sari,, Dania,, Dani,, sini Nak” ucap Ibu yang terlihat selesai mempersiapkan makan siang. “Iya sini,, kita makan siang dulu,, liat nih Ibu memasak ikan bakar.” lanjut Ayah sambil menunjukan ikan bakarnya. Sari, Dania, dan Dani berlari menghampiri Ayah dan Ibu.
“Nak,, lihat itu” ucap Ibu melirik anak-anaknya yang berada bersebelahan dengan Ayah dan Ibunya, Ibu mengalihkan pandangannya ke arah depan. Sari, Dania, Dani mengikuti arah sorot mata Ibu.
“Subhanallah” ucap Mereka bersamaan, tatapan mata mereka berkaca-kaca, kagum. saat melihat pelangi yang terlihat jelas di depan mata mereka.
“Pelangi itu muncul setelah hujan” ucap Ayah sembari melirik Ibu dan tersenyum, terlihat wajah Ayah yang sangat bahagia, Ibu pun sadar dilirik Ayah dan membalas senyuman itu.
“Ciyyee yang udah baikan” ucap Sari saat melihat tingkah laku Ayah dan Ibunya. Ayah dan Ibu terlihat kikuk, Mereka langsung memeluk Anak-anaknya sambil menatap pelangi.
“Iya, pelangi itu muncul setelah hujan dan hujan itu pasti ada redanya, seperti masalah pasti akan berakhir dan pasti berakhir dengan indah, seperti ini.” ucap Dania dalam hati, mata Dania mulai berkaca-kaca, sebelum butiran mutiara itu tumpah di pipinya, Ia segera menyekanya. Ia melirik Ayah dan Ibunya saling pandang-pandang. Dania senang melihat kedua orang tuanya seperti ini, akur dan damai.
“teng, teng, teng” lonceng sekolah telah berbunyi, pertanda kegiatan belajar mengajar pun telah usai, beberapa Murid dari kelas lain sudah keluar kelas terlebih dahulu, ekspresi ceria terlihat di wajah-wajah Mereka, sepertinya Mereka ingin bergegas pulang ke rumah. Namun di salah satu kelas terlihat semua Murid masih mengemas alat tulisnya, memasukan perlengkapan alat tulis menulis, seperti buku pelajaran, pulpen, pensil dan penghapusnya kedalam tas. Begitupun dengan Dania, masih sibuk memasukan perlengkapan menulisnya yang tergeletak diatas meja. Dania adalah salah satu Murid yang bersekolah di SMPN 2 Tarogong, Garut, Jawa Barat. Sekarang, Ia duduk di bangku kelas dua, terhitung sudah enam bulan Ia duduk dibangku kelas dua, namun Ia belum bisa mengakrabkan dirinya dengan Murid-murid yang lain. Dania bukan termasuk kriteria gadis yang supel dan bisa menyapa semua orang yang belum dikenalnya. Tak lama Guru yang masih berada di dalam kelas mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan ruang kelas, diikuti oleh segerombolan Murid-muridnya. Kini ruang kelas terlihat sepi dengan kondisi hanya ada beberapa orang di dalamnya, satu persatu dari Mereka pun keluar ruang kelas untuk pulang.
“Dania, mau pulang bareng ga?” tanya salah satu teman Dania, saat melihat Dania sedang berdiri di samping kursi sembari membenahi posisi tas ransel yang dikenakannya. Dania mengenalnya sebagai Tami, salah satu Gadis paling ramah dikelas. Tami adalah teman pertama yang membuatnya merasa nyaman. Dania dan Tami, mereka selalu bersama kemana pun pergi, mulai dari makan bersama, ke kantin bersama, ke perpustakaan bersama, terkadang Mereka pun pulang bersama, sehingga muncullah sebuah pribahasa “Dimana ada Dania disana ada Tami”. Kebersamaan Mereka yang baru seumur Jagung belum bisa dibilang mencapai tahap Persahabatan karena Mereka masih saling menutupi mengenai permasalahan pribadinya, termasuk permasalahan keluarga.
Dania yang telah selesai membenahi tas ranselnya menoleh kearah Tami yang berada dibelakangnya. “Apa?” ucap Dania sambil menatap mata Tami, dia lupa apa yang baru saja Tami ucapkan. “Oh, pulang bareng yah?, nanti yah cek ponsel dulu yah, khawatir ada sms dari Ayah” lanjut Dania ketika Ia mulai ingat apa yang dikatakan Tami.
Tami hanya mengangguk, menunggu jawaban dari Dania. Pandangan Tami menyapu seluruh isi ruangan, tatapan matanya terhenti pada seorang siswi yang baru saja beranjak dari kursinya dan segera keluar kelas. Tami mengambil kursi di dekatnya dan Ia duduk diatasnya.
Dania mengambil ponsel di dalam tas. Ia menatap layar ponsenya, ternyata ada 2 pesan dan satu panggilan yang tidak terjawab, itu semua dari Ayah. Salah satu isi pesannya “Dania, Ayah ga bisa jemput, ayah lagi banyak kerjaan, kamu bisa kan pulang sendiri?” dan yang lain “Dania, kalau mau pulang bilang dulu sama Ayah”.
Dania mencoba berkali-kali menelpon Ayahnya namun tak kunjung diangkat, Dania melirik kearah Tami, Tami yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Dania pun menatap dengan bertanya-tanya, Dania hanya menggelengkan kepalanya, akhirnya Dania memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Ayahnya “Ayah, Dania pulang bersama Tami jadi Ayah tidak usah jemput Dania” dengan setengah gusar, Dania memasukan kembali ponsel kedalam tas.
“Dania yuk pulang, liat kelas udah sepi, tinggal kita berdua yang belum pulang” ajak Tami setelah menunggu beberapa menit, tanpa jawaban dari Dania, Ia sudah mulai bosan menunggu, Tami berdiri, bangun dari kursi.
“Aku khawatir hujan akan segera turun, langit sudah mulai mendung tuh” lanjut Tami sambil melihat keluar ruang kelas, langit sangat gelap, angin kencang mengoyahkan pepohonan membuat dedaunan gugur dari pohonnya, berserakan di sekitar koridor kelas bahkan ada yang masuk ke dalam kelas. Dania mengikuti arah sorot mata Tami, menatap keluar kelas. Dania menarik tangan Tami, berlari ke keluar kelas, Mereka menuju gerbang sekolah, tempat dimana Mereka harus menunggu Bus.
Mereka melambaikan tangan, memberhentikan saat melihat bus yang mereka ingin naiki telah datang, Mereka melangkah ke dalam bus, bus ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang disana. Dania memilih bangku di pertengahan dan duduk berdekatan dengan jendela, diikuti Tami yang duduk disebelahnya.
Hembusan angin terasa sangat kencang, membuat Dania berkali-kali harus merapihkan kerudungnya yang tertiup angin, Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap keluar jendela. Awan mendung, hitam tampak sedang berjalan menuju tempat yang tepat untuk menurunkan semua beban yang terkandung didalamnya, air. Beberapakali terlihat kilat yang menyambar, tanpa suara.
Douuaaar! kilat yang sangat keras membuat semua penumpang tersentak kaget, air dari langit turun setetes demi setetes berjatuhan hingga akhirnya tumpah sangat deras, tangan Dania mencoba menyentuhnya di balik jendela, mengikuti setiap lekukan air yang mengalir di jendela.
“Dania, kamu turun dimana?” tanya Tami memecah kesunyian.
“Hem, di Leles, ini sudah sampai mana?” jawab Dania merilik ke arah Tami, lalu memalingkannya wajahnya, ke luar jendela, mencari petunjuk, alamat.
“Baru sampai…” jawab Tami melihat ke depan, jendela mobil bus.
“Bentar lagi saya turun, duluan yah Tam,” Dania memotong pembicaraan Tami, saat melihat Jembatan Leles, Garut, Jawa Barat. Dania beranjak dari tempat duduknya, berdiri, membenahi pakaian, kerudung dan posisi ranselnya, menghamipiri kendektur yang berada di dekat pintu, membisikan ke pada kendektur bahwasannya Ia akan berhenti di depan, setelah jembatan Leles.
“Yah bang, berhenti disini” ucap Dania kepada kendektur sambil memberikan ongkosnya, Ia melirik ke Tami dan terseyum, mengisyaratkan saya pulang duluan. Tami pun tersenyum balik ke Dania dan mengucapkan “Hati-hati dijalan”.
Hujan masih sangat deras, Dania mengkhawatirkan pakaiannya akan basah terkena air hujan, melihat pakaiannya. “Bismillahirohmanirohim” ucap Dania lirih dalam hati saat menuruni bus tersebut. Ia berlari ke sebuah ruko didepannya untuk berteduh, disana banyak orang yang sedang berteduh juga, sama seperti Dania. Dania mengusap-ngusap tubuh dan merapihkan kerudungnya yang terkena tetesan air hujan, Ia menangkap sosok Tami yang melambaikan tangannya dari dalam bus, Ia tersenyum kepada Dania. Dania yang terkejut melihat Tami pun segera melambaikan tangannya dan tersenyum, perlahan bus itu pergi, yang terlihat hanya bagian belakang bus, bus itu semakin menjauh dan kini tak terlihat lagi.
Dania melihat sekelilingnya banyak orang yang berteduh menunggu hujan reda. Tak sengaja Dania mendengar percakapan dua orang pelajar yang mengenakan pakaian SMA, yang satu memakai tas warna biru dan yang lain memakai tas berwarna hitam.
“Wah, hujan kaya gini mah, lama redanya” ucap salah seorang pelajar yang memakai tas warna berwarna hitam.
“Iya nih, kalau hujan kaya gini lama redanya, lanjut aja yuk perjalanannya, lagian udah terlanjur basah ini bajunya” jawab pelajar yang memakai tas berwarna biru sambil merapihkan bajunya, akhirnya mereka pun pergi di tengah hujan deras.
“Hem,, bener juga apa kata Mereka, tapi nanti apa kata Ibu, kalau Dania pulang basah kuyup” ucap Dania dalam hati dan menggaruk garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Akhirnya Ia pun memutuskan untuk pergi, beranjak dari tempatnya sekarang menuju rumahnya, menerjang hujan, tak peduli Ia akan basah kuyup dan dimarahi Ibunya.
Rumah Dania memang tak begitu jauh dari tempatnya berteduh. Dania berjalan di tengah hujan deras, “Syalalalala..” ucap Dania menari-nari di tengah hujan deras, di ambilnya bunga yang sedang bermekaran, wajahnya menengadah ke langit, tetesan air hujan menyentuh wajah.
“Sudah lama tak hujan-hujanan seperti ini, kalau Ibu tau pasti kena marah, semoga Ibu belum pulang” ucapnya lagi, kini tubuhnya sudah basah kuyup. Ia mempercepat langkahnya hingga tiba di depan rumahnya, rumah yang berada di pinggir jalan, dengan kondisi dinding berwarna abu-abu, pagar hitam setinggi dirinya.
Terdengar suara gaduh dari dalam rumah, Prraangg! suara benda pecah beradu dengan derasnya hujan.
“Ceraikan aku mas, ceraikan..!!!” suara itu terdengar cukup menggema, hingga menggetarkan gendang telinga Dania, langkahnya terhenti tepat di depan pintu rumah. “Itu mirip suara Ibu, jika itu benar suara Ibu lantas, Ibu sedang berbicara pada siapa? Apakah Ibu sedang berbicara dengan Ayah? Tapi kenapa Ibu berbicara seperti itu? Apakah Ibu bertengkar dengan Ayah?” sejumlah pertanyaan hinggap di pikiran Dania, membuat Ia khawatir dengan apa yang sedang terjadi. Kini tubuhnya seakan lemas, tak sanggup menompangnya. Dania semakin dihantui rasa penasaran, perlahan Ia masuk ke ruang utamanya, ruang keluarga. Ia melihat ke sekelilingnya penuh dengan pecahan kaca, Ia temui sosok lelaki paru baya yang biasa dipanggil Ayah, dilihatnya tubuh lelaki itu mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, sikap berdirinya tak segagah dahulu, tampak keriput menghiasi tubuhnya, rambutnya yang tak lagi hitam, dan sorot sinar matanya redup seperti ada kesedihan yang mendalam dihati lelaki itu.
Lelaki itu sedang berdiri menatap seorang perempuan yang berada di hadapannya, perempuan dengan vas bunga ditangan kanannya, seakan ingin dilemparkan kepada lelaki tersebut. Perempuan itu adalah seseorang yang dicintai dan telah dipersuntingnya tiga puluhtahun yang lalu. Perbedaan umur yang cukup terlampau jauh membuat sang perempuan masih elok nan cantik, tubuhnya masih terlihat kencang, tak banyak keriput yang hinggap didirinya, rambutnya pun tak banyak yang memutih, dia adalah istri lelaki paru baya segaligus Ibu bagi Dania dan dua orang saudaranya.
Dania manatap Mereka tak percaya, nafasnya tak beraturan, Ia mulai merasakan perih dan sesak dibagian dada sebelah kiri, bibirnya bergetar menahan amarah yang tersampaikan, tak ayal air mata yang menyerupai berlian bergulir merambati pipi Dania.
“Ayah,, Ibu,,” ucap Dania lirih, menatap sosok menatap sepasang Pasutri secara bergantian, Ia mencoba menyekat air mata yang keluar dari matanya.
“Dania” ucap Ibu yang menyadari kedatangan Dania, vas bunga yang di pengang Ibu pun terjatuh, tubuhnya tak mampu menompang, akhirnya Ibu pun duduk, terjatuh. Ayah mencari sosok yang diucapkan oleh Ibunya, Ayah menemukan sosok Dania yang berada disampingnya, Ia terkejut, sangat terkejut.
“Dania, Ayah bisa jelaskan ini semua,” ucap Ayah, perlahan mendekati Dania. Dania mundur selangkah demi selangkah, akhirnya Dania membalikan badannya dan lari sekencang kencangnya keluar rumah.
“Dania mau kemana? Hujan Nak.” teriak Ayah dari dalam rumah, mencoba mengenjar Dania, Ibu hanya duduk terdiam, menangis, menyesali perbuatannya. Dania mengabaikan ucapan Ayahnya. Dania berlari menerobos hujan yang amat deras, hingga seluruh tubuhnya basah, terkena air hujan.
“Dania,, Dania, tunggu Nak” suara Ayah yang masih mengikutinya dari belakang, semua orang yang berada di sekeliling Dania memperhatikan dan mencoba memanggil dirinya. Namun Dania tak memperdulikannya, Ia tetap berlari, tanpa arah, tak tahu mau kemana, Ia hanya ingin menjauh dari rumah dan Ayahnya.
Setelah berlari jauh dari rumahnya dan tak terdengar lagi suara Ayahnya, Ia melihat sebuah gubuk kecil di tengah hamparan sawah luas yang sedang menguning, gubuk itu terasa tak asing di mata Dania, dia pernah ke gubuk ini satu bulan yang lalu bersama keluarga, gubuk ini tak berubah sedikit pun, hanya terlihat sedikit basah. Ia berlari kesana untuk berteduh, menghampiri sebuah bangku panjang, duduk disana, menantap ke depan, ke hamparan sawah, membayangkan yang baru saja terjadi di depan matanya. Dania memang sering mendengar kedua orang tuanya bertengkar pada malam hari saat anak-anaknya sedang tidur, namun Ia tidak menyangka kalau pada akhirnya akan ada pertengkaran sebesar ini, hingga memecahkan beberapa vas bunga dirumah.
Seragam sekolah yang basah, angin yang berhembus cukup kencang diiringi tetesan air yang turun dari langit membuat suasana sekitarnya menjadi membeku. Kini pikirannya pun melayang menelusuri jejak-jejak yang basah dalam benaknya..
********
Hari ini, hari pertama Dania memasuki bangku SMP, pagi hari semua keadaan masih terlihat lancar seperti biasanya, hingga pada malam tepatnya pada suasana makan malam sedang berlangsung, bincang-bincang meja makan pun dimulai, kami memang sering menceritakan segala kejadian hari ini dimeja makan, karena hanya saat itulah semua anggota keluarga bisa berkumpul semua. Ibu menceritakan kondisi keadaan ekonomi yang sedang kurang baik dan Ia pun di tugaskan untuk pergi keluar kota pada esok hari. Kami pun memaklumi kondisi ini. Sari, Dania dan Dani siap jika uang jajannya dikurangi, begitu pun Ayah, Ia siap mengurangi jatah uang untuk merokok. Dan masalah Ibu ditugaskan keluar kota, yah mungkin itu wajar, karena tugas dari atasannya, ketuanya. Namun seiring berjalannya waktu, entah kenapa Ibu semakin sering ditugaskan untuk bolak-balik luar kota dan setiap pulang dari keluar kota Ibu lebih sering menerima telepon secara sembunyi-sembunyi, Dania mengangap hal itu wajar, mungkin rekan kerjanya yang menanyakan tentang pekerjaan. Hingga pada akhirnya terciumlah aroma perselingkuhan Ibunya dengan pria lain. Suatu hari Dania melihat ponsel Ibunya tergeletak di atas meja, Ia memberanikan diri untuk menggenggam ponsel tersebut tanpa sepengetahuan Ibunya, Ia membaca pesan singkat, Ia memperhatikan secara detail tiap kata-katanya dan matanya seakan mau keluar, terbelalak saat menemukan kata “Sayang”. Dania tak percaya dengan apa yang dia lihat, ia sempat beranggapan “mungkin itu salah kirim”, namun saat membuka pesan singkat yang lain kata itu pun masih menghiasi layar ponsel. Ia meyakini aroma perselingkuhan itu bukan sekedar aroma tapi memang nyata adanya perselingkuhan yang terjadi. Pada saat itulah tidur Dania mulai menjadi tak karuan dan mimpi perceraian Ayah dan Ibunya pun mulai menghantuinya. Dania menceritakan mimpinya kepada Ayah dan Kakak perempuan, mimpi tentang pertemuannya dengan Ibu dan pria lain.
Ketika itu Dania yang sedang beradara di kamarnya pun beranjak dari tempat tidurnya, perlahan lahan keluar kamar, saat mendengar suara percakapan gaduh dari ruang keluarga, Ia melihat kedua orangtuanya sedang bersi tegang, langkanya pun terhenti, Ia bersembunyi di balik dinding yang berada cukup dekat dengan posisi orangtuanya, hingga ia dapat menyaksikan secara jelas apa yang sedang terjadi. Suara orangtuanya tak begitu jelas terdengar hingga Dania harus memasang telinganya baik-baik saat mendengar percakapan mereka.
“Mas saya mau cerai, saya mau nikah dengan lelaki lain” ucap Ibu sambil menatap Ayah, dan tak lama seorang lelaki yang masih terlihat tampah, mapan, dan lebih muda dari Ayah datang mengampiri Ibu, lelaki itu mencium kening dan menggandeng tangan Ibu. Ayah melihat perlakuan lelaki itu terhadap Istrinya tak bisa berkutik, diam saja, menatap Ibu dengan wajah sangat kecewa. Dania tak tahan atas sikap lelaki itu bermesraan dengan Ibunya pun beranikan diri untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dania melangkahkan kakinya tanpa ragu menuju Ayah, Ibu dan lelaki muda itu berada. Wajahnya terlihat memerah, seperti api yang menyala-nyala, nafasnya tak beraturan, Ia tak sanggup menahan emosi, langkahnya berhenti tepat disebelah Ayah, dihadapan Ibu dan Lelaki itu.
“Oh,, jadi ini lelaki yang sering menelepon Ibu dan ngirim pesan singkat dengan kata-kata Sayang? Ini Bu?” ucap Dania dengan nada sedikit di tekan pada saat bilang ‘Sayang’, Dania melihat lelaki muda itu dengan tatapan sinis dan tak sedikit pun senyuman hinggap diwajah Dania. Lelaki itu pun melihat Dania tak kalah sinis dan Ia sempat tersenyum tipis saat Dania berbicara.
“Wah hebat yah Ibu, melepaskan Ayah hanya untuk lelaki ini.!!” Lanjut Dania dengan nada semakin tinggi, mata seakan ingin keluar dan sepertinya masih banyak yang ia ingin ucap kan terhadap Ibunya namun Ayahnya lebih dulu memegang tangan Dania, Dania paham itu adalah sebuah kode agar ia berhenti mengatakan yang tak pantas ia katakan kepada Ibunya. Dania menarik nafas panjang panjang dan mengeluarkannya “huff”, ia berkali kali melakukan hal itu.
“Saya tidak akan ceraikan kamu, Bu. Bagaimana dengan anak kita nantinya, kasihan mereka kalau kita bercerai, mereka masih membutuhkan kasih sayang kita.” ucap Ayah memecah kesunyian, tatapan matanya menyapu seluruh isi ruangan, lalu menatap dania yang berada di sampingnya, kedua tangannya merangkul pundak Dania, kini tatapannya berbinar-binar seakan menahan butiran mutiara keluar dari persembunyiannya. Ibu terdiam mendengarkan perkataan Ayah, matanya menatap lelaki muda itu.
“Anak? Kita bagi dua aja untuk hak asuh Anak. Saya akan membawa Dani ikut dengan saya dan lelaki ini.” Ucap Ibu melirik ke arah Ayah lalu mengalihkan pandangannya ke Lelaki Muda itu dengan senyum kecil. Lelaki itu pun tersenyum penuh kemenangan diwajahnya, Ia merangkul Ibunya, namun Ibu mencoba menolaknya, Ia menurunkan tanggan Lelaki Muda itu. Tampak sekali Lelaki Muda itu ingin memamerkan kemesraannya di depan Ayah dan Dania.
“loh ko begitu Bu?! Ibu sekarang berubah, bukan tidak seperti Ibuku yang dulu.! Apa karena Lelaki ini?!” Ucap Dania sambil menggeleng-ngelengkan kepalanya, seakan Ia tak menyangka apa yang telah di katakna Ibunya, nada bicaranya sedikit tinggi saat menyebutkan kalimat “apa karena Lelaki ini” dan tangannya pun reflek menunjuk wajah Lelaki Muda.
“Sabar, sabar, Nak” ucap Ayah yang mencoba menurun tangan Dania dari hadapan Lelaki Muda itu. Ayah pun menjauhkan Dania dari Ibu.
PLAAAKKK..!! sebuah tangan mendarat tapat di pipi Dania membentuk tato berwarna merah. Dania memegangi wajah yang bertato itu, tersentak tak percaya apa yang dilakukan Ibunya. Ayahnya sempat ingin membalas tato tersebut diwajah Istrinya namun seketika tangan Ayah dihalang oleh Lelaki Muda itu.
“Mungkin saya harus memberikan sebuah tamparan agar mulutmu itu tak banyak bicara” ucap Ibu dengan nada kebencian. Ibu beranjak dari tempatnya, membalikan badannya dan pergi ke luar rumah bersama lelaki muda itu. Dania hanya punggung mereka yang seakan menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangan.
Setelah menceritakan semuanya, hati Dania terasa sedikit lega, plong. Kakak permpuannya, Sari. pun ikut menceritakan apa yang dilihatnya selama ini “Iya, Teteh juga pernah liat ibu menerima telepon lama banget pas Ayah piket dikantor” ucap Sari meyakinkan. Ayah hanya tersenyum mendengarkan ucapan Sari.
“Ibumu itu sedang diguna-guna, Ayah sudah cerita masalah ini kepada Nenek dan Uwa, tidak usah khwatir, kamu konsentrasi belajar aja yah nak” ucap Ayah, tatapan matanya melihat kearah depan, tak jelas apa yang dilihatnya.
“Guna-guna?” ucap Dania dan Sari secara serempak dan mengalihkan pandangannya ke arah Ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk beberapakali. Tak bisa di percaya, apa yang telah ucapkan oleh Ayahnya tentang guna-guna atau ilmu hitam. Namun ketika hampir setiap malam Dania mendengarkan suara gaduh dari kamar Orang tuanya, melihat Orang tuanya tidur terpisah dan semakin jarang bercengkrama, perlahan-lahan membuat Dania yakini akan guna-guna atau ilmu hitam itu hinggap di Ibunya.
********
“Arrggghhtt” Dania berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan segala beban yang Ia rasakan. Air matanya mulai mengering, Ia menangis tanpa air mata. Ia merebahkan tubuhnya di bangku panjang, yang sedari tadi ditempatinya. Tubuh Dania menggigil, kedinginan. Hembusan angin, membuat tubuhnya menggigil, Ia mencoba menggosok-gosokkan tangannya ke badan, memeluk erat tubuhnya, mencoba menghangatkan dirinya sendiri hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur.
“Dania,, Dania” terdengar suara Ayah yang semakin lama semakin mendekat, Dania membuka matanya saat mendengar suara itu, Ia tak memperdulikan suara ayahnya, Ia tak sanggup berlari untuk menjauh dari Ayahnya, matanya terasa sembab, tubuhnya kini membeku, seluruh badannya terlihat pucat.
Dania melihat kedepan dengan tatapan kosong, melihat hujan sudah mulai reda, langit terlihat sedikit lebih cerah, namun tiupan angin masih sangat kencang.
“Daniiiiiaaaa, Ya Tuhan, kamu pucat sekali Nak” teriak Ayah saat melihat Dania yang terbaring lemas diatas kursi, Ayah berlari menghampiri Dania, memeluk tubuh Dania, mengusap-ngusap wajah dan kepala Dania. Dania tak bisa mengelak, Ia hanya diam tak berdaya.
“Nak, maafkan Ayah, Ayah tak mampu jadi kepala keluarga yang baik,” ucap Ayah sambil mencoba menggendong Dania, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Dania, “Ayo kita pulang nak” ajak Ayah, air mata Ayah pun tumpah saat menggendong Dania, Dania tak tega melihat Ayahnya menangis, Ia mencoba menghapus air mata Ayahnya, Ayahnya tersenyum kepada Dania, Dania mencoba memejamkan mata, mendekap lebih erat di pelukan Ayahnya, Ia merasa sangat nyaman di gendong Ayahnya.
“Ayah, Dania,,” terdengar samar-samar suara langkah kaki yang mendekat dan tiba-tiba saja ada yang menyentuh dahi Dania saat memasuki pintu rumahnya. Dania membuka mata, Ia melihat kakak perempuannya dan adiknya, Sari dan Dani berada di hadapannya, Dania mencoba tersenyum kepada Mereka, Namun Dania tak melihat Ibunya “Kemana Ibunya?” tanya Dania dalam hati. Sari adalah kakak perempuan Dania, Ia berumur tiga tahun lebih tua dari Dania, sekarang Ia duduk di bangku SMA dan Dani adalah adik laki-laki Dania, Ia berumur lima tahun lebih muda dari pada Dania, Ia sekarang duduk di bangku SD.
“Ya Tuhan, Dania badannya panas sekali,” ucap kakak perempuannya setelah memegang dahi Dania.
“Awas, awas Dania mau lewat, Sari buatkan air hangat segera, terus buatkan teh hangat juga untuk Dania” ucap Ayahnya sambil membawa Dania ke kamar, membaringkan Dania diatas kasur, Ayah langsung keluar kamar setelah membaringkan Dania diatas kasur, tak lama Ibu datang membawa air hangat dan teh hangat yang di buatkan oleh Sari, wajah Ibunya terlihat beda dari biasanya, sedikit kusut dan tak bersemangat. Ibu menggantikan baju Dania, setelah itu Ia mengambilkan cangkir berisikan teh hangat yang berada diatas meja, dan membantu meminumkan teh hangat untuk Dania. Tubuh Dania kini sudah sedikit membaik, Ibu beranjak bangun dan keluar kamar Dania setelah mengusap-ngusap rambut dan mencium kening Dania.
Semua anggota keluarga satu persatu masuk dan berkumpul dikamar Dania, mulai dari Ayah, Dani, Sari dan yang terakhir Ibu. Dania menatap satu persatu dari Mereka dengan wajah bertanya-tanya.
“Ibu sudah membicarakan ini pada mba Sari dan adikmu Dani juga Ayahmu” ucap Ibu lirih dengan wajah menunduk dan mata mulai berkaca-kaca, semua pandangan tertuju pada Ibu, Mereka menatap dengan sangat serius.
“Ibu akan menenangkan diri dirumah nenek, di Serang, Banten. Ibu sudah memutuskan akan pergi bersama Dani.” lanjut Ibu sambil melirik Dania, kemudian menatap Dani lekat-lekat. Dania tahu bahwa adiknya Dani itu memang sangat dekat dengan Ibunya, Dania juga tahu kalau Dani adalah anak kesayangan Ibunya, mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya. Sedangkan kakak perempuannya yaitu Sari, dia sangatlah dekat dengan Ayahnya, kalau ada masalah apapun Sari pasti membela Ayahnya, seperti masalah ini, dia sangatlah kontra dengan Ibunya. Namun Dania, dia dekat dengan keduanya, dia tak membela siapapun, ketika terjadi masalah.
“Ibu akan berangkat besok pagi” ucap Ibu memecah lamunan Dania, Dania menangkap tatapan Ibunya yang sedang menatapnya, Ibu tersenyum kecil kepada Dania, Dania mencoba mengalihkan pandangannya, tak sanggup menatap mata Ibunya.
Esokan harinya, dipagi buta, Ibu membangunkan Dania yang masih tertidur di dalam kamarnya, Ibu berpamitan mulai dari Ayah, Sari dan Dania. Ibu berpesan kepadaku agar menjaga diri baik-baik. Kami menghantarkan Ibu sampai terminal, Dania melihat Ibunya menangis dibalik jendela bis, Dania ingin sekali menghapus air mata Ibunya, Ia tak ingin Ibunya menanggis. “Rencana Allah itu lebih indah dari pada rencana manusia” ucap Dania dalam hati, mencoba menguatkan diri.
***********
(Satu bulan kemudian)
Ting tong,, ting tong,, suara bel dirumah Dania berbunyi. Dania sedang asik membaca novel dikamarnya pun langsung keluar kamar, Dania melihat Ayahnya sedang duduk di depan televisi dan kakak perempuannya sedang memasak di dapur. Dania berjalan menghampiri Ayahnya, Ia menatap Ayahnya lekat-lekat,bermaksud agar Ayahnya sadar kalau sedang di perhatikan. Namun Ayahnya tak menyadari bahwa Dania sedang memperhatikan. Hingga akhirnya Dania memutuskan untuk memanggil Ayahnya.
“Ssstt,, sstt,, Ayah,” ucap Dania dengan nada bisik-bisik, Ayah mencoba mencari sumber suara tersebut, hingga akhirnya Ayah melihat Dania yang sedang tersenyum kepadanya,
“Apa Dania?” jawab ayah sambil tersenyum kepadanya
“Itu ada tamu” ucap Dania,
“Udah kamu aja yang membukakan pintu” jawab Ayah sambil mengerutkan dahinya dan mengalihkan pandangannya kearah televisi.
“Ih engga mau ah, Ayah aja yang membukakan pintu, Dania tak mengenakan kerudung khawatir lama jika Dania yang membukakan pintu” ucap Dania sambil melirik ruang tamu”
Akhirnya Ayah pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri ruang tamu, Dania mengikuti Ayahnya dari belakang dengan wajah penasaran, Ia bersembunyi di balik dinding, hingga wajahnya saja yang terlihat. Ayah mencoba membukakan pintu “krek” pintu dibuka perlahan-lahan, terlihat disana seorang wanita paruh baya berkerudung, mengenakan baju batik warna cokelat dan celana bahan warna cokelat, bersama salah seorang anak laki-laki dengan potongan rambut pendek, mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru dan celana levis. Diluar tampak hujan deras, baju yang dikenakan keduanya terlihat sedikit basah. Dania melihat Ayahnya sedikit mematung setelah membukakan pintu tersebut, wanita paruh baya dan anak laki-laki itu pun mencoba tersenyum kepada Ayah dan Dania, Dania mencoba mengecilkan pupil matanya matanya agar terlihat lebih fokus.
“Ibu, Dani,,” teriak Dania saat menyadari itu adalah Ibu dan Adiknya, Dania berlari menghampiri Mereka dan memeluk hangat Ibunya, sudah lama sekali tidak menikmati pelukan sehangat ini, air matanya pun mulai mengalir membasahi pipinya, begitu pun Ibunya. Ibu pun mencium pipi Dania beberapakali, hingga wajah Dania sedikit merah dan basah akan air mata Ibunya.
“Udah Nak, jangan nangis, Ibu ada disini” ucap Ibu sambil menghapus air mata Dania dan memeluk Dania kembali. Dania sempat melirik Ayahnya, Ayahnya masih diam terpaku melihat Ibu dan anak laki-lakinya pulang kerumah, mata Ayah mulai berkaca-kaca, terlihat bahwa Ayah menahan tangisannya. Sedangkan Dani mulai mengusap-ngusapkan matanya dengan kedua tangan, matanya memerah, sempat terdengar beberapakali isakan tanggis yang tertahan, adiknya menangis.
“Ibu,,” terdengar suara dari belakang Dania, Dania membalikan posisi badannya, menangkap sosok kakak perempuannya yang mengenakan celemek dan memegang serbet, masih diam terpaku menatap Ibu, hingga serbet di tanggannya pun terjatuh, Ibu pun menatapnya balik dengan bibir yang bergetar dan air mata semakin deras. Dania pun mulai melepaskan diri secara perlahan dari pelukan Ibunya. Tatapan kami semua tertuju pada Sari, tetehku.
“Sari,, anakku,,” ucap Ibu dengan nada bergetar dan menyeka air mata yang ingin keluar dari matanya.
“Sini Nak,,” lanjut Ibu, Ibu membuka tanganya, menandakan ingin memeluk.
“Ibu,, benerkah ini Ibu?” ucap Sari dengan bertanya-tanya, perlahan-lahan ia menghampiri Ibunya, mata mulai memerah, air matanya jatuh setetes demi setetes, Sari jatuh di pelukan Ibunya.
Semenjak hari itu semua keadaan mulai membaik, tak pernah terdengar lagi suara gaduh pada malam hari, dan Ibu pun sudah tidak menerima telepon secara sembunyi-sembunyi. Namun Dania sedikit trauma setiap Ibunya menerima telepon dengan siapa pun secara sembunyi-sembunyi. Dania khawatir kejadian seperti ini akan terulang kembali. Waktu terus berjalan kejadian tersebut menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan oleh Dania dan keluarganya.
****
Hari ini Ayah dan Ibu mengajak kami, sekeluarga bertamasya ke Gubuk tua di tengah hamparan pematang sawah. Ayah dan Ibu berada duduk berdua dikursi, mempersiapkan makan siang yang dibawa dari rumah, sedangkan Sari, Dania dan Dani, berlarian ke kesana kemari di tengah hamparan sawah.
“Sari,, Dania,, Dani,, sini Nak” ucap Ibu yang terlihat selesai mempersiapkan makan siang. “Iya sini,, kita makan siang dulu,, liat nih Ibu memasak ikan bakar.” lanjut Ayah sambil menunjukan ikan bakarnya. Sari, Dania, dan Dani berlari menghampiri Ayah dan Ibu.
“Nak,, lihat itu” ucap Ibu melirik anak-anaknya yang berada bersebelahan dengan Ayah dan Ibunya, Ibu mengalihkan pandangannya ke arah depan. Sari, Dania, Dani mengikuti arah sorot mata Ibu.
“Subhanallah” ucap Mereka bersamaan, tatapan mata mereka berkaca-kaca, kagum. saat melihat pelangi yang terlihat jelas di depan mata mereka.
“Pelangi itu muncul setelah hujan” ucap Ayah sembari melirik Ibu dan tersenyum, terlihat wajah Ayah yang sangat bahagia, Ibu pun sadar dilirik Ayah dan membalas senyuman itu.
“Ciyyee yang udah baikan” ucap Sari saat melihat tingkah laku Ayah dan Ibunya. Ayah dan Ibu terlihat kikuk, Mereka langsung memeluk Anak-anaknya sambil menatap pelangi.
“Iya, pelangi itu muncul setelah hujan dan hujan itu pasti ada redanya, seperti masalah pasti akan berakhir dan pasti berakhir dengan indah, seperti ini.” ucap Dania dalam hati, mata Dania mulai berkaca-kaca, sebelum butiran mutiara itu tumpah di pipinya, Ia segera menyekanya. Ia melirik Ayah dan Ibunya saling pandang-pandang. Dania senang melihat kedua orang tuanya seperti ini, akur dan damai.
“Dania, mau pulang bareng ga?” tanya salah satu teman Dania, saat melihat Dania sedang berdiri di samping kursi sembari membenahi posisi tas ransel yang dikenakannya. Dania mengenalnya sebagai Tami, salah satu Gadis paling ramah dikelas. Tami adalah teman pertama yang membuatnya merasa nyaman. Dania dan Tami, mereka selalu bersama kemana pun pergi, mulai dari makan bersama, ke kantin bersama, ke perpustakaan bersama, terkadang Mereka pun pulang bersama, sehingga muncullah sebuah pribahasa “Dimana ada Dania disana ada Tami”. Kebersamaan Mereka yang baru seumur Jagung belum bisa dibilang mencapai tahap Persahabatan karena Mereka masih saling menutupi mengenai permasalahan pribadinya, termasuk permasalahan keluarga.
Dania yang telah selesai membenahi tas ranselnya menoleh kearah Tami yang berada dibelakangnya. “Apa?” ucap Dania sambil menatap mata Tami, dia lupa apa yang baru saja Tami ucapkan. “Oh, pulang bareng yah?, nanti yah cek ponsel dulu yah, khawatir ada sms dari Ayah” lanjut Dania ketika Ia mulai ingat apa yang dikatakan Tami.
Tami hanya mengangguk, menunggu jawaban dari Dania. Pandangan Tami menyapu seluruh isi ruangan, tatapan matanya terhenti pada seorang siswi yang baru saja beranjak dari kursinya dan segera keluar kelas. Tami mengambil kursi di dekatnya dan Ia duduk diatasnya.
Dania mengambil ponsel di dalam tas. Ia menatap layar ponsenya, ternyata ada 2 pesan dan satu panggilan yang tidak terjawab, itu semua dari Ayah. Salah satu isi pesannya “Dania, Ayah ga bisa jemput, ayah lagi banyak kerjaan, kamu bisa kan pulang sendiri?” dan yang lain “Dania, kalau mau pulang bilang dulu sama Ayah”.
Dania mencoba berkali-kali menelpon Ayahnya namun tak kunjung diangkat, Dania melirik kearah Tami, Tami yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Dania pun menatap dengan bertanya-tanya, Dania hanya menggelengkan kepalanya, akhirnya Dania memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Ayahnya “Ayah, Dania pulang bersama Tami jadi Ayah tidak usah jemput Dania” dengan setengah gusar, Dania memasukan kembali ponsel kedalam tas.
“Dania yuk pulang, liat kelas udah sepi, tinggal kita berdua yang belum pulang” ajak Tami setelah menunggu beberapa menit, tanpa jawaban dari Dania, Ia sudah mulai bosan menunggu, Tami berdiri, bangun dari kursi.
“Aku khawatir hujan akan segera turun, langit sudah mulai mendung tuh” lanjut Tami sambil melihat keluar ruang kelas, langit sangat gelap, angin kencang mengoyahkan pepohonan membuat dedaunan gugur dari pohonnya, berserakan di sekitar koridor kelas bahkan ada yang masuk ke dalam kelas. Dania mengikuti arah sorot mata Tami, menatap keluar kelas. Dania menarik tangan Tami, berlari ke keluar kelas, Mereka menuju gerbang sekolah, tempat dimana Mereka harus menunggu Bus.
Mereka melambaikan tangan, memberhentikan saat melihat bus yang mereka ingin naiki telah datang, Mereka melangkah ke dalam bus, bus ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang disana. Dania memilih bangku di pertengahan dan duduk berdekatan dengan jendela, diikuti Tami yang duduk disebelahnya.
Hembusan angin terasa sangat kencang, membuat Dania berkali-kali harus merapihkan kerudungnya yang tertiup angin, Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap keluar jendela. Awan mendung, hitam tampak sedang berjalan menuju tempat yang tepat untuk menurunkan semua beban yang terkandung didalamnya, air. Beberapakali terlihat kilat yang menyambar, tanpa suara.
Douuaaar! kilat yang sangat keras membuat semua penumpang tersentak kaget, air dari langit turun setetes demi setetes berjatuhan hingga akhirnya tumpah sangat deras, tangan Dania mencoba menyentuhnya di balik jendela, mengikuti setiap lekukan air yang mengalir di jendela.
“Dania, kamu turun dimana?” tanya Tami memecah kesunyian.
“Hem, di Leles, ini sudah sampai mana?” jawab Dania merilik ke arah Tami, lalu memalingkannya wajahnya, ke luar jendela, mencari petunjuk, alamat.
“Baru sampai…” jawab Tami melihat ke depan, jendela mobil bus.
“Bentar lagi saya turun, duluan yah Tam,” Dania memotong pembicaraan Tami, saat melihat Jembatan Leles, Garut, Jawa Barat. Dania beranjak dari tempat duduknya, berdiri, membenahi pakaian, kerudung dan posisi ranselnya, menghamipiri kendektur yang berada di dekat pintu, membisikan ke pada kendektur bahwasannya Ia akan berhenti di depan, setelah jembatan Leles.
“Yah bang, berhenti disini” ucap Dania kepada kendektur sambil memberikan ongkosnya, Ia melirik ke Tami dan terseyum, mengisyaratkan saya pulang duluan. Tami pun tersenyum balik ke Dania dan mengucapkan “Hati-hati dijalan”.
Hujan masih sangat deras, Dania mengkhawatirkan pakaiannya akan basah terkena air hujan, melihat pakaiannya. “Bismillahirohmanirohim” ucap Dania lirih dalam hati saat menuruni bus tersebut. Ia berlari ke sebuah ruko didepannya untuk berteduh, disana banyak orang yang sedang berteduh juga, sama seperti Dania. Dania mengusap-ngusap tubuh dan merapihkan kerudungnya yang terkena tetesan air hujan, Ia menangkap sosok Tami yang melambaikan tangannya dari dalam bus, Ia tersenyum kepada Dania. Dania yang terkejut melihat Tami pun segera melambaikan tangannya dan tersenyum, perlahan bus itu pergi, yang terlihat hanya bagian belakang bus, bus itu semakin menjauh dan kini tak terlihat lagi.
Dania melihat sekelilingnya banyak orang yang berteduh menunggu hujan reda. Tak sengaja Dania mendengar percakapan dua orang pelajar yang mengenakan pakaian SMA, yang satu memakai tas warna biru dan yang lain memakai tas berwarna hitam.
“Wah, hujan kaya gini mah, lama redanya” ucap salah seorang pelajar yang memakai tas warna berwarna hitam.
“Iya nih, kalau hujan kaya gini lama redanya, lanjut aja yuk perjalanannya, lagian udah terlanjur basah ini bajunya” jawab pelajar yang memakai tas berwarna biru sambil merapihkan bajunya, akhirnya mereka pun pergi di tengah hujan deras.
“Hem,, bener juga apa kata Mereka, tapi nanti apa kata Ibu, kalau Dania pulang basah kuyup” ucap Dania dalam hati dan menggaruk garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Akhirnya Ia pun memutuskan untuk pergi, beranjak dari tempatnya sekarang menuju rumahnya, menerjang hujan, tak peduli Ia akan basah kuyup dan dimarahi Ibunya.
Rumah Dania memang tak begitu jauh dari tempatnya berteduh. Dania berjalan di tengah hujan deras, “Syalalalala..” ucap Dania menari-nari di tengah hujan deras, di ambilnya bunga yang sedang bermekaran, wajahnya menengadah ke langit, tetesan air hujan menyentuh wajah.
“Sudah lama tak hujan-hujanan seperti ini, kalau Ibu tau pasti kena marah, semoga Ibu belum pulang” ucapnya lagi, kini tubuhnya sudah basah kuyup. Ia mempercepat langkahnya hingga tiba di depan rumahnya, rumah yang berada di pinggir jalan, dengan kondisi dinding berwarna abu-abu, pagar hitam setinggi dirinya.
Terdengar suara gaduh dari dalam rumah, Prraangg! suara benda pecah beradu dengan derasnya hujan.
“Ceraikan aku mas, ceraikan..!!!” suara itu terdengar cukup menggema, hingga menggetarkan gendang telinga Dania, langkahnya terhenti tepat di depan pintu rumah. “Itu mirip suara Ibu, jika itu benar suara Ibu lantas, Ibu sedang berbicara pada siapa? Apakah Ibu sedang berbicara dengan Ayah? Tapi kenapa Ibu berbicara seperti itu? Apakah Ibu bertengkar dengan Ayah?” sejumlah pertanyaan hinggap di pikiran Dania, membuat Ia khawatir dengan apa yang sedang terjadi. Kini tubuhnya seakan lemas, tak sanggup menompangnya. Dania semakin dihantui rasa penasaran, perlahan Ia masuk ke ruang utamanya, ruang keluarga. Ia melihat ke sekelilingnya penuh dengan pecahan kaca, Ia temui sosok lelaki paru baya yang biasa dipanggil Ayah, dilihatnya tubuh lelaki itu mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, sikap berdirinya tak segagah dahulu, tampak keriput menghiasi tubuhnya, rambutnya yang tak lagi hitam, dan sorot sinar matanya redup seperti ada kesedihan yang mendalam dihati lelaki itu.
Lelaki itu sedang berdiri menatap seorang perempuan yang berada di hadapannya, perempuan dengan vas bunga ditangan kanannya, seakan ingin dilemparkan kepada lelaki tersebut. Perempuan itu adalah seseorang yang dicintai dan telah dipersuntingnya tiga puluhtahun yang lalu. Perbedaan umur yang cukup terlampau jauh membuat sang perempuan masih elok nan cantik, tubuhnya masih terlihat kencang, tak banyak keriput yang hinggap didirinya, rambutnya pun tak banyak yang memutih, dia adalah istri lelaki paru baya segaligus Ibu bagi Dania dan dua orang saudaranya.
Dania manatap Mereka tak percaya, nafasnya tak beraturan, Ia mulai merasakan perih dan sesak dibagian dada sebelah kiri, bibirnya bergetar menahan amarah yang tersampaikan, tak ayal air mata yang menyerupai berlian bergulir merambati pipi Dania.
“Ayah,, Ibu,,” ucap Dania lirih, menatap sosok menatap sepasang Pasutri secara bergantian, Ia mencoba menyekat air mata yang keluar dari matanya.
“Dania” ucap Ibu yang menyadari kedatangan Dania, vas bunga yang di pengang Ibu pun terjatuh, tubuhnya tak mampu menompang, akhirnya Ibu pun duduk, terjatuh. Ayah mencari sosok yang diucapkan oleh Ibunya, Ayah menemukan sosok Dania yang berada disampingnya, Ia terkejut, sangat terkejut.
“Dania, Ayah bisa jelaskan ini semua,” ucap Ayah, perlahan mendekati Dania. Dania mundur selangkah demi selangkah, akhirnya Dania membalikan badannya dan lari sekencang kencangnya keluar rumah.
“Dania mau kemana? Hujan Nak.” teriak Ayah dari dalam rumah, mencoba mengenjar Dania, Ibu hanya duduk terdiam, menangis, menyesali perbuatannya. Dania mengabaikan ucapan Ayahnya. Dania berlari menerobos hujan yang amat deras, hingga seluruh tubuhnya basah, terkena air hujan.
“Dania,, Dania, tunggu Nak” suara Ayah yang masih mengikutinya dari belakang, semua orang yang berada di sekeliling Dania memperhatikan dan mencoba memanggil dirinya. Namun Dania tak memperdulikannya, Ia tetap berlari, tanpa arah, tak tahu mau kemana, Ia hanya ingin menjauh dari rumah dan Ayahnya.
Setelah berlari jauh dari rumahnya dan tak terdengar lagi suara Ayahnya, Ia melihat sebuah gubuk kecil di tengah hamparan sawah luas yang sedang menguning, gubuk itu terasa tak asing di mata Dania, dia pernah ke gubuk ini satu bulan yang lalu bersama keluarga, gubuk ini tak berubah sedikit pun, hanya terlihat sedikit basah. Ia berlari kesana untuk berteduh, menghampiri sebuah bangku panjang, duduk disana, menantap ke depan, ke hamparan sawah, membayangkan yang baru saja terjadi di depan matanya. Dania memang sering mendengar kedua orang tuanya bertengkar pada malam hari saat anak-anaknya sedang tidur, namun Ia tidak menyangka kalau pada akhirnya akan ada pertengkaran sebesar ini, hingga memecahkan beberapa vas bunga dirumah.
Seragam sekolah yang basah, angin yang berhembus cukup kencang diiringi tetesan air yang turun dari langit membuat suasana sekitarnya menjadi membeku. Kini pikirannya pun melayang menelusuri jejak-jejak yang basah dalam benaknya..
********
Hari ini, hari pertama Dania memasuki bangku SMP, pagi hari semua keadaan masih terlihat lancar seperti biasanya, hingga pada malam tepatnya pada suasana makan malam sedang berlangsung, bincang-bincang meja makan pun dimulai, kami memang sering menceritakan segala kejadian hari ini dimeja makan, karena hanya saat itulah semua anggota keluarga bisa berkumpul semua. Ibu menceritakan kondisi keadaan ekonomi yang sedang kurang baik dan Ia pun di tugaskan untuk pergi keluar kota pada esok hari. Kami pun memaklumi kondisi ini. Sari, Dania dan Dani siap jika uang jajannya dikurangi, begitu pun Ayah, Ia siap mengurangi jatah uang untuk merokok. Dan masalah Ibu ditugaskan keluar kota, yah mungkin itu wajar, karena tugas dari atasannya, ketuanya. Namun seiring berjalannya waktu, entah kenapa Ibu semakin sering ditugaskan untuk bolak-balik luar kota dan setiap pulang dari keluar kota Ibu lebih sering menerima telepon secara sembunyi-sembunyi, Dania mengangap hal itu wajar, mungkin rekan kerjanya yang menanyakan tentang pekerjaan. Hingga pada akhirnya terciumlah aroma perselingkuhan Ibunya dengan pria lain. Suatu hari Dania melihat ponsel Ibunya tergeletak di atas meja, Ia memberanikan diri untuk menggenggam ponsel tersebut tanpa sepengetahuan Ibunya, Ia membaca pesan singkat, Ia memperhatikan secara detail tiap kata-katanya dan matanya seakan mau keluar, terbelalak saat menemukan kata “Sayang”. Dania tak percaya dengan apa yang dia lihat, ia sempat beranggapan “mungkin itu salah kirim”, namun saat membuka pesan singkat yang lain kata itu pun masih menghiasi layar ponsel. Ia meyakini aroma perselingkuhan itu bukan sekedar aroma tapi memang nyata adanya perselingkuhan yang terjadi. Pada saat itulah tidur Dania mulai menjadi tak karuan dan mimpi perceraian Ayah dan Ibunya pun mulai menghantuinya. Dania menceritakan mimpinya kepada Ayah dan Kakak perempuan, mimpi tentang pertemuannya dengan Ibu dan pria lain.
Ketika itu Dania yang sedang beradara di kamarnya pun beranjak dari tempat tidurnya, perlahan lahan keluar kamar, saat mendengar suara percakapan gaduh dari ruang keluarga, Ia melihat kedua orangtuanya sedang bersi tegang, langkanya pun terhenti, Ia bersembunyi di balik dinding yang berada cukup dekat dengan posisi orangtuanya, hingga ia dapat menyaksikan secara jelas apa yang sedang terjadi. Suara orangtuanya tak begitu jelas terdengar hingga Dania harus memasang telinganya baik-baik saat mendengar percakapan mereka.
“Mas saya mau cerai, saya mau nikah dengan lelaki lain” ucap Ibu sambil menatap Ayah, dan tak lama seorang lelaki yang masih terlihat tampah, mapan, dan lebih muda dari Ayah datang mengampiri Ibu, lelaki itu mencium kening dan menggandeng tangan Ibu. Ayah melihat perlakuan lelaki itu terhadap Istrinya tak bisa berkutik, diam saja, menatap Ibu dengan wajah sangat kecewa. Dania tak tahan atas sikap lelaki itu bermesraan dengan Ibunya pun beranikan diri untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dania melangkahkan kakinya tanpa ragu menuju Ayah, Ibu dan lelaki muda itu berada. Wajahnya terlihat memerah, seperti api yang menyala-nyala, nafasnya tak beraturan, Ia tak sanggup menahan emosi, langkahnya berhenti tepat disebelah Ayah, dihadapan Ibu dan Lelaki itu.
“Oh,, jadi ini lelaki yang sering menelepon Ibu dan ngirim pesan singkat dengan kata-kata Sayang? Ini Bu?” ucap Dania dengan nada sedikit di tekan pada saat bilang ‘Sayang’, Dania melihat lelaki muda itu dengan tatapan sinis dan tak sedikit pun senyuman hinggap diwajah Dania. Lelaki itu pun melihat Dania tak kalah sinis dan Ia sempat tersenyum tipis saat Dania berbicara.
“Wah hebat yah Ibu, melepaskan Ayah hanya untuk lelaki ini.!!” Lanjut Dania dengan nada semakin tinggi, mata seakan ingin keluar dan sepertinya masih banyak yang ia ingin ucap kan terhadap Ibunya namun Ayahnya lebih dulu memegang tangan Dania, Dania paham itu adalah sebuah kode agar ia berhenti mengatakan yang tak pantas ia katakan kepada Ibunya. Dania menarik nafas panjang panjang dan mengeluarkannya “huff”, ia berkali kali melakukan hal itu.
“Saya tidak akan ceraikan kamu, Bu. Bagaimana dengan anak kita nantinya, kasihan mereka kalau kita bercerai, mereka masih membutuhkan kasih sayang kita.” ucap Ayah memecah kesunyian, tatapan matanya menyapu seluruh isi ruangan, lalu menatap dania yang berada di sampingnya, kedua tangannya merangkul pundak Dania, kini tatapannya berbinar-binar seakan menahan butiran mutiara keluar dari persembunyiannya. Ibu terdiam mendengarkan perkataan Ayah, matanya menatap lelaki muda itu.
“Anak? Kita bagi dua aja untuk hak asuh Anak. Saya akan membawa Dani ikut dengan saya dan lelaki ini.” Ucap Ibu melirik ke arah Ayah lalu mengalihkan pandangannya ke Lelaki Muda itu dengan senyum kecil. Lelaki itu pun tersenyum penuh kemenangan diwajahnya, Ia merangkul Ibunya, namun Ibu mencoba menolaknya, Ia menurunkan tanggan Lelaki Muda itu. Tampak sekali Lelaki Muda itu ingin memamerkan kemesraannya di depan Ayah dan Dania.
“loh ko begitu Bu?! Ibu sekarang berubah, bukan tidak seperti Ibuku yang dulu.! Apa karena Lelaki ini?!” Ucap Dania sambil menggeleng-ngelengkan kepalanya, seakan Ia tak menyangka apa yang telah di katakna Ibunya, nada bicaranya sedikit tinggi saat menyebutkan kalimat “apa karena Lelaki ini” dan tangannya pun reflek menunjuk wajah Lelaki Muda.
“Sabar, sabar, Nak” ucap Ayah yang mencoba menurun tangan Dania dari hadapan Lelaki Muda itu. Ayah pun menjauhkan Dania dari Ibu.
PLAAAKKK..!! sebuah tangan mendarat tapat di pipi Dania membentuk tato berwarna merah. Dania memegangi wajah yang bertato itu, tersentak tak percaya apa yang dilakukan Ibunya. Ayahnya sempat ingin membalas tato tersebut diwajah Istrinya namun seketika tangan Ayah dihalang oleh Lelaki Muda itu.
“Mungkin saya harus memberikan sebuah tamparan agar mulutmu itu tak banyak bicara” ucap Ibu dengan nada kebencian. Ibu beranjak dari tempatnya, membalikan badannya dan pergi ke luar rumah bersama lelaki muda itu. Dania hanya punggung mereka yang seakan menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangan.
Setelah menceritakan semuanya, hati Dania terasa sedikit lega, plong. Kakak permpuannya, Sari. pun ikut menceritakan apa yang dilihatnya selama ini “Iya, Teteh juga pernah liat ibu menerima telepon lama banget pas Ayah piket dikantor” ucap Sari meyakinkan. Ayah hanya tersenyum mendengarkan ucapan Sari.
“Ibumu itu sedang diguna-guna, Ayah sudah cerita masalah ini kepada Nenek dan Uwa, tidak usah khwatir, kamu konsentrasi belajar aja yah nak” ucap Ayah, tatapan matanya melihat kearah depan, tak jelas apa yang dilihatnya.
“Guna-guna?” ucap Dania dan Sari secara serempak dan mengalihkan pandangannya ke arah Ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk beberapakali. Tak bisa di percaya, apa yang telah ucapkan oleh Ayahnya tentang guna-guna atau ilmu hitam. Namun ketika hampir setiap malam Dania mendengarkan suara gaduh dari kamar Orang tuanya, melihat Orang tuanya tidur terpisah dan semakin jarang bercengkrama, perlahan-lahan membuat Dania yakini akan guna-guna atau ilmu hitam itu hinggap di Ibunya.
********
“Arrggghhtt” Dania berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan segala beban yang Ia rasakan. Air matanya mulai mengering, Ia menangis tanpa air mata. Ia merebahkan tubuhnya di bangku panjang, yang sedari tadi ditempatinya. Tubuh Dania menggigil, kedinginan. Hembusan angin, membuat tubuhnya menggigil, Ia mencoba menggosok-gosokkan tangannya ke badan, memeluk erat tubuhnya, mencoba menghangatkan dirinya sendiri hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur.
“Dania,, Dania” terdengar suara Ayah yang semakin lama semakin mendekat, Dania membuka matanya saat mendengar suara itu, Ia tak memperdulikan suara ayahnya, Ia tak sanggup berlari untuk menjauh dari Ayahnya, matanya terasa sembab, tubuhnya kini membeku, seluruh badannya terlihat pucat.
Dania melihat kedepan dengan tatapan kosong, melihat hujan sudah mulai reda, langit terlihat sedikit lebih cerah, namun tiupan angin masih sangat kencang.
“Daniiiiiaaaa, Ya Tuhan, kamu pucat sekali Nak” teriak Ayah saat melihat Dania yang terbaring lemas diatas kursi, Ayah berlari menghampiri Dania, memeluk tubuh Dania, mengusap-ngusap wajah dan kepala Dania. Dania tak bisa mengelak, Ia hanya diam tak berdaya.
“Nak, maafkan Ayah, Ayah tak mampu jadi kepala keluarga yang baik,” ucap Ayah sambil mencoba menggendong Dania, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Dania, “Ayo kita pulang nak” ajak Ayah, air mata Ayah pun tumpah saat menggendong Dania, Dania tak tega melihat Ayahnya menangis, Ia mencoba menghapus air mata Ayahnya, Ayahnya tersenyum kepada Dania, Dania mencoba memejamkan mata, mendekap lebih erat di pelukan Ayahnya, Ia merasa sangat nyaman di gendong Ayahnya.
“Ayah, Dania,,” terdengar samar-samar suara langkah kaki yang mendekat dan tiba-tiba saja ada yang menyentuh dahi Dania saat memasuki pintu rumahnya. Dania membuka mata, Ia melihat kakak perempuannya dan adiknya, Sari dan Dani berada di hadapannya, Dania mencoba tersenyum kepada Mereka, Namun Dania tak melihat Ibunya “Kemana Ibunya?” tanya Dania dalam hati. Sari adalah kakak perempuan Dania, Ia berumur tiga tahun lebih tua dari Dania, sekarang Ia duduk di bangku SMA dan Dani adalah adik laki-laki Dania, Ia berumur lima tahun lebih muda dari pada Dania, Ia sekarang duduk di bangku SD.
“Ya Tuhan, Dania badannya panas sekali,” ucap kakak perempuannya setelah memegang dahi Dania.
“Awas, awas Dania mau lewat, Sari buatkan air hangat segera, terus buatkan teh hangat juga untuk Dania” ucap Ayahnya sambil membawa Dania ke kamar, membaringkan Dania diatas kasur, Ayah langsung keluar kamar setelah membaringkan Dania diatas kasur, tak lama Ibu datang membawa air hangat dan teh hangat yang di buatkan oleh Sari, wajah Ibunya terlihat beda dari biasanya, sedikit kusut dan tak bersemangat. Ibu menggantikan baju Dania, setelah itu Ia mengambilkan cangkir berisikan teh hangat yang berada diatas meja, dan membantu meminumkan teh hangat untuk Dania. Tubuh Dania kini sudah sedikit membaik, Ibu beranjak bangun dan keluar kamar Dania setelah mengusap-ngusap rambut dan mencium kening Dania.
Semua anggota keluarga satu persatu masuk dan berkumpul dikamar Dania, mulai dari Ayah, Dani, Sari dan yang terakhir Ibu. Dania menatap satu persatu dari Mereka dengan wajah bertanya-tanya.
“Ibu sudah membicarakan ini pada mba Sari dan adikmu Dani juga Ayahmu” ucap Ibu lirih dengan wajah menunduk dan mata mulai berkaca-kaca, semua pandangan tertuju pada Ibu, Mereka menatap dengan sangat serius.
“Ibu akan menenangkan diri dirumah nenek, di Serang, Banten. Ibu sudah memutuskan akan pergi bersama Dani.” lanjut Ibu sambil melirik Dania, kemudian menatap Dani lekat-lekat. Dania tahu bahwa adiknya Dani itu memang sangat dekat dengan Ibunya, Dania juga tahu kalau Dani adalah anak kesayangan Ibunya, mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya. Sedangkan kakak perempuannya yaitu Sari, dia sangatlah dekat dengan Ayahnya, kalau ada masalah apapun Sari pasti membela Ayahnya, seperti masalah ini, dia sangatlah kontra dengan Ibunya. Namun Dania, dia dekat dengan keduanya, dia tak membela siapapun, ketika terjadi masalah.
“Ibu akan berangkat besok pagi” ucap Ibu memecah lamunan Dania, Dania menangkap tatapan Ibunya yang sedang menatapnya, Ibu tersenyum kecil kepada Dania, Dania mencoba mengalihkan pandangannya, tak sanggup menatap mata Ibunya.
Esokan harinya, dipagi buta, Ibu membangunkan Dania yang masih tertidur di dalam kamarnya, Ibu berpamitan mulai dari Ayah, Sari dan Dania. Ibu berpesan kepadaku agar menjaga diri baik-baik. Kami menghantarkan Ibu sampai terminal, Dania melihat Ibunya menangis dibalik jendela bis, Dania ingin sekali menghapus air mata Ibunya, Ia tak ingin Ibunya menanggis. “Rencana Allah itu lebih indah dari pada rencana manusia” ucap Dania dalam hati, mencoba menguatkan diri.
***********
(Satu bulan kemudian)
Ting tong,, ting tong,, suara bel dirumah Dania berbunyi. Dania sedang asik membaca novel dikamarnya pun langsung keluar kamar, Dania melihat Ayahnya sedang duduk di depan televisi dan kakak perempuannya sedang memasak di dapur. Dania berjalan menghampiri Ayahnya, Ia menatap Ayahnya lekat-lekat,bermaksud agar Ayahnya sadar kalau sedang di perhatikan. Namun Ayahnya tak menyadari bahwa Dania sedang memperhatikan. Hingga akhirnya Dania memutuskan untuk memanggil Ayahnya.
“Ssstt,, sstt,, Ayah,” ucap Dania dengan nada bisik-bisik, Ayah mencoba mencari sumber suara tersebut, hingga akhirnya Ayah melihat Dania yang sedang tersenyum kepadanya,
“Apa Dania?” jawab ayah sambil tersenyum kepadanya
“Itu ada tamu” ucap Dania,
“Udah kamu aja yang membukakan pintu” jawab Ayah sambil mengerutkan dahinya dan mengalihkan pandangannya kearah televisi.
“Ih engga mau ah, Ayah aja yang membukakan pintu, Dania tak mengenakan kerudung khawatir lama jika Dania yang membukakan pintu” ucap Dania sambil melirik ruang tamu”
Akhirnya Ayah pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri ruang tamu, Dania mengikuti Ayahnya dari belakang dengan wajah penasaran, Ia bersembunyi di balik dinding, hingga wajahnya saja yang terlihat. Ayah mencoba membukakan pintu “krek” pintu dibuka perlahan-lahan, terlihat disana seorang wanita paruh baya berkerudung, mengenakan baju batik warna cokelat dan celana bahan warna cokelat, bersama salah seorang anak laki-laki dengan potongan rambut pendek, mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru dan celana levis. Diluar tampak hujan deras, baju yang dikenakan keduanya terlihat sedikit basah. Dania melihat Ayahnya sedikit mematung setelah membukakan pintu tersebut, wanita paruh baya dan anak laki-laki itu pun mencoba tersenyum kepada Ayah dan Dania, Dania mencoba mengecilkan pupil matanya matanya agar terlihat lebih fokus.
“Ibu, Dani,,” teriak Dania saat menyadari itu adalah Ibu dan Adiknya, Dania berlari menghampiri Mereka dan memeluk hangat Ibunya, sudah lama sekali tidak menikmati pelukan sehangat ini, air matanya pun mulai mengalir membasahi pipinya, begitu pun Ibunya. Ibu pun mencium pipi Dania beberapakali, hingga wajah Dania sedikit merah dan basah akan air mata Ibunya.
“Udah Nak, jangan nangis, Ibu ada disini” ucap Ibu sambil menghapus air mata Dania dan memeluk Dania kembali. Dania sempat melirik Ayahnya, Ayahnya masih diam terpaku melihat Ibu dan anak laki-lakinya pulang kerumah, mata Ayah mulai berkaca-kaca, terlihat bahwa Ayah menahan tangisannya. Sedangkan Dani mulai mengusap-ngusapkan matanya dengan kedua tangan, matanya memerah, sempat terdengar beberapakali isakan tanggis yang tertahan, adiknya menangis.
“Ibu,,” terdengar suara dari belakang Dania, Dania membalikan posisi badannya, menangkap sosok kakak perempuannya yang mengenakan celemek dan memegang serbet, masih diam terpaku menatap Ibu, hingga serbet di tanggannya pun terjatuh, Ibu pun menatapnya balik dengan bibir yang bergetar dan air mata semakin deras. Dania pun mulai melepaskan diri secara perlahan dari pelukan Ibunya. Tatapan kami semua tertuju pada Sari, tetehku.
“Sari,, anakku,,” ucap Ibu dengan nada bergetar dan menyeka air mata yang ingin keluar dari matanya.
“Sini Nak,,” lanjut Ibu, Ibu membuka tanganya, menandakan ingin memeluk.
“Ibu,, benerkah ini Ibu?” ucap Sari dengan bertanya-tanya, perlahan-lahan ia menghampiri Ibunya, mata mulai memerah, air matanya jatuh setetes demi setetes, Sari jatuh di pelukan Ibunya.
Semenjak hari itu semua keadaan mulai membaik, tak pernah terdengar lagi suara gaduh pada malam hari, dan Ibu pun sudah tidak menerima telepon secara sembunyi-sembunyi. Namun Dania sedikit trauma setiap Ibunya menerima telepon dengan siapa pun secara sembunyi-sembunyi. Dania khawatir kejadian seperti ini akan terulang kembali. Waktu terus berjalan kejadian tersebut menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan oleh Dania dan keluarganya.
****
Hari ini Ayah dan Ibu mengajak kami, sekeluarga bertamasya ke Gubuk tua di tengah hamparan pematang sawah. Ayah dan Ibu berada duduk berdua dikursi, mempersiapkan makan siang yang dibawa dari rumah, sedangkan Sari, Dania dan Dani, berlarian ke kesana kemari di tengah hamparan sawah.
“Sari,, Dania,, Dani,, sini Nak” ucap Ibu yang terlihat selesai mempersiapkan makan siang. “Iya sini,, kita makan siang dulu,, liat nih Ibu memasak ikan bakar.” lanjut Ayah sambil menunjukan ikan bakarnya. Sari, Dania, dan Dani berlari menghampiri Ayah dan Ibu.
“Nak,, lihat itu” ucap Ibu melirik anak-anaknya yang berada bersebelahan dengan Ayah dan Ibunya, Ibu mengalihkan pandangannya ke arah depan. Sari, Dania, Dani mengikuti arah sorot mata Ibu.
“Subhanallah” ucap Mereka bersamaan, tatapan mata mereka berkaca-kaca, kagum. saat melihat pelangi yang terlihat jelas di depan mata mereka.
“Pelangi itu muncul setelah hujan” ucap Ayah sembari melirik Ibu dan tersenyum, terlihat wajah Ayah yang sangat bahagia, Ibu pun sadar dilirik Ayah dan membalas senyuman itu.
“Ciyyee yang udah baikan” ucap Sari saat melihat tingkah laku Ayah dan Ibunya. Ayah dan Ibu terlihat kikuk, Mereka langsung memeluk Anak-anaknya sambil menatap pelangi.
“Iya, pelangi itu muncul setelah hujan dan hujan itu pasti ada redanya, seperti masalah pasti akan berakhir dan pasti berakhir dengan indah, seperti ini.” ucap Dania dalam hati, mata Dania mulai berkaca-kaca, sebelum butiran mutiara itu tumpah di pipinya, Ia segera menyekanya. Ia melirik Ayah dan Ibunya saling pandang-pandang. Dania senang melihat kedua orang tuanya seperti ini, akur dan damai.
“teng, teng, teng” lonceng sekolah telah berbunyi, pertanda kegiatan belajar mengajar pun telah usai, beberapa Murid dari kelas lain sudah keluar kelas terlebih dahulu, ekspresi ceria terlihat di wajah-wajah Mereka, sepertinya Mereka ingin bergegas pulang ke rumah. Namun di salah satu kelas terlihat semua Murid masih mengemas alat tulisnya, memasukan perlengkapan alat tulis menulis, seperti buku pelajaran, pulpen, pensil dan penghapusnya kedalam tas. Begitupun dengan Dania, masih sibuk memasukan perlengkapan menulisnya yang tergeletak diatas meja. Dania adalah salah satu Murid yang bersekolah di SMPN 2 Tarogong, Garut, Jawa Barat. Sekarang, Ia duduk di bangku kelas dua, terhitung sudah enam bulan Ia duduk dibangku kelas dua, namun Ia belum bisa mengakrabkan dirinya dengan Murid-murid yang lain. Dania bukan termasuk kriteria gadis yang supel dan bisa menyapa semua orang yang belum dikenalnya. Tak lama Guru yang masih berada di dalam kelas mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan ruang kelas, diikuti oleh segerombolan Murid-muridnya. Kini ruang kelas terlihat sepi dengan kondisi hanya ada beberapa orang di dalamnya, satu persatu dari Mereka pun keluar ruang kelas untuk pulang.
“Dania, mau pulang bareng ga?” tanya salah satu teman Dania, saat melihat Dania sedang berdiri di samping kursi sembari membenahi posisi tas ransel yang dikenakannya. Dania mengenalnya sebagai Tami, salah satu Gadis paling ramah dikelas. Tami adalah teman pertama yang membuatnya merasa nyaman. Dania dan Tami, mereka selalu bersama kemana pun pergi, mulai dari makan bersama, ke kantin bersama, ke perpustakaan bersama, terkadang Mereka pun pulang bersama, sehingga muncullah sebuah pribahasa “Dimana ada Dania disana ada Tami”. Kebersamaan Mereka yang baru seumur Jagung belum bisa dibilang mencapai tahap Persahabatan karena Mereka masih saling menutupi mengenai permasalahan pribadinya, termasuk permasalahan keluarga.
Dania yang telah selesai membenahi tas ranselnya menoleh kearah Tami yang berada dibelakangnya. “Apa?” ucap Dania sambil menatap mata Tami, dia lupa apa yang baru saja Tami ucapkan. “Oh, pulang bareng yah?, nanti yah cek ponsel dulu yah, khawatir ada sms dari Ayah” lanjut Dania ketika Ia mulai ingat apa yang dikatakan Tami.
Tami hanya mengangguk, menunggu jawaban dari Dania. Pandangan Tami menyapu seluruh isi ruangan, tatapan matanya terhenti pada seorang siswi yang baru saja beranjak dari kursinya dan segera keluar kelas. Tami mengambil kursi di dekatnya dan Ia duduk diatasnya.
Dania mengambil ponsel di dalam tas. Ia menatap layar ponsenya, ternyata ada 2 pesan dan satu panggilan yang tidak terjawab, itu semua dari Ayah. Salah satu isi pesannya “Dania, Ayah ga bisa jemput, ayah lagi banyak kerjaan, kamu bisa kan pulang sendiri?” dan yang lain “Dania, kalau mau pulang bilang dulu sama Ayah”.
Dania mencoba berkali-kali menelpon Ayahnya namun tak kunjung diangkat, Dania melirik kearah Tami, Tami yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Dania pun menatap dengan bertanya-tanya, Dania hanya menggelengkan kepalanya, akhirnya Dania memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Ayahnya “Ayah, Dania pulang bersama Tami jadi Ayah tidak usah jemput Dania” dengan setengah gusar, Dania memasukan kembali ponsel kedalam tas.
“Dania yuk pulang, liat kelas udah sepi, tinggal kita berdua yang belum pulang” ajak Tami setelah menunggu beberapa menit, tanpa jawaban dari Dania, Ia sudah mulai bosan menunggu, Tami berdiri, bangun dari kursi.
“Aku khawatir hujan akan segera turun, langit sudah mulai mendung tuh” lanjut Tami sambil melihat keluar ruang kelas, langit sangat gelap, angin kencang mengoyahkan pepohonan membuat dedaunan gugur dari pohonnya, berserakan di sekitar koridor kelas bahkan ada yang masuk ke dalam kelas. Dania mengikuti arah sorot mata Tami, menatap keluar kelas. Dania menarik tangan Tami, berlari ke keluar kelas, Mereka menuju gerbang sekolah, tempat dimana Mereka harus menunggu Bus.
Mereka melambaikan tangan, memberhentikan saat melihat bus yang mereka ingin naiki telah datang, Mereka melangkah ke dalam bus, bus ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang disana. Dania memilih bangku di pertengahan dan duduk berdekatan dengan jendela, diikuti Tami yang duduk disebelahnya.
Hembusan angin terasa sangat kencang, membuat Dania berkali-kali harus merapihkan kerudungnya yang tertiup angin, Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap keluar jendela. Awan mendung, hitam tampak sedang berjalan menuju tempat yang tepat untuk menurunkan semua beban yang terkandung didalamnya, air. Beberapakali terlihat kilat yang menyambar, tanpa suara.
Douuaaar! kilat yang sangat keras membuat semua penumpang tersentak kaget, air dari langit turun setetes demi setetes berjatuhan hingga akhirnya tumpah sangat deras, tangan Dania mencoba menyentuhnya di balik jendela, mengikuti setiap lekukan air yang mengalir di jendela.
“Dania, kamu turun dimana?” tanya Tami memecah kesunyian.
“Hem, di Leles, ini sudah sampai mana?” jawab Dania merilik ke arah Tami, lalu memalingkannya wajahnya, ke luar jendela, mencari petunjuk, alamat.
“Baru sampai…” jawab Tami melihat ke depan, jendela mobil bus.
“Bentar lagi saya turun, duluan yah Tam,” Dania memotong pembicaraan Tami, saat melihat Jembatan Leles, Garut, Jawa Barat. Dania beranjak dari tempat duduknya, berdiri, membenahi pakaian, kerudung dan posisi ranselnya, menghamipiri kendektur yang berada di dekat pintu, membisikan ke pada kendektur bahwasannya Ia akan berhenti di depan, setelah jembatan Leles.
“Yah bang, berhenti disini” ucap Dania kepada kendektur sambil memberikan ongkosnya, Ia melirik ke Tami dan terseyum, mengisyaratkan saya pulang duluan. Tami pun tersenyum balik ke Dania dan mengucapkan “Hati-hati dijalan”.
Hujan masih sangat deras, Dania mengkhawatirkan pakaiannya akan basah terkena air hujan, melihat pakaiannya. “Bismillahirohmanirohim” ucap Dania lirih dalam hati saat menuruni bus tersebut. Ia berlari ke sebuah ruko didepannya untuk berteduh, disana banyak orang yang sedang berteduh juga, sama seperti Dania. Dania mengusap-ngusap tubuh dan merapihkan kerudungnya yang terkena tetesan air hujan, Ia menangkap sosok Tami yang melambaikan tangannya dari dalam bus, Ia tersenyum kepada Dania. Dania yang terkejut melihat Tami pun segera melambaikan tangannya dan tersenyum, perlahan bus itu pergi, yang terlihat hanya bagian belakang bus, bus itu semakin menjauh dan kini tak terlihat lagi.
Dania melihat sekelilingnya banyak orang yang berteduh menunggu hujan reda. Tak sengaja Dania mendengar percakapan dua orang pelajar yang mengenakan pakaian SMA, yang satu memakai tas warna biru dan yang lain memakai tas berwarna hitam.
“Wah, hujan kaya gini mah, lama redanya” ucap salah seorang pelajar yang memakai tas warna berwarna hitam.
“Iya nih, kalau hujan kaya gini lama redanya, lanjut aja yuk perjalanannya, lagian udah terlanjur basah ini bajunya” jawab pelajar yang memakai tas berwarna biru sambil merapihkan bajunya, akhirnya mereka pun pergi di tengah hujan deras.
“Hem,, bener juga apa kata Mereka, tapi nanti apa kata Ibu, kalau Dania pulang basah kuyup” ucap Dania dalam hati dan menggaruk garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Akhirnya Ia pun memutuskan untuk pergi, beranjak dari tempatnya sekarang menuju rumahnya, menerjang hujan, tak peduli Ia akan basah kuyup dan dimarahi Ibunya.
Rumah Dania memang tak begitu jauh dari tempatnya berteduh. Dania berjalan di tengah hujan deras, “Syalalalala..” ucap Dania menari-nari di tengah hujan deras, di ambilnya bunga yang sedang bermekaran, wajahnya menengadah ke langit, tetesan air hujan menyentuh wajah.
“Sudah lama tak hujan-hujanan seperti ini, kalau Ibu tau pasti kena marah, semoga Ibu belum pulang” ucapnya lagi, kini tubuhnya sudah basah kuyup. Ia mempercepat langkahnya hingga tiba di depan rumahnya, rumah yang berada di pinggir jalan, dengan kondisi dinding berwarna abu-abu, pagar hitam setinggi dirinya.
Terdengar suara gaduh dari dalam rumah, Prraangg! suara benda pecah beradu dengan derasnya hujan.
“Ceraikan aku mas, ceraikan..!!!” suara itu terdengar cukup menggema, hingga menggetarkan gendang telinga Dania, langkahnya terhenti tepat di depan pintu rumah. “Itu mirip suara Ibu, jika itu benar suara Ibu lantas, Ibu sedang berbicara pada siapa? Apakah Ibu sedang berbicara dengan Ayah? Tapi kenapa Ibu berbicara seperti itu? Apakah Ibu bertengkar dengan Ayah?” sejumlah pertanyaan hinggap di pikiran Dania, membuat Ia khawatir dengan apa yang sedang terjadi. Kini tubuhnya seakan lemas, tak sanggup menompangnya. Dania semakin dihantui rasa penasaran, perlahan Ia masuk ke ruang utamanya, ruang keluarga. Ia melihat ke sekelilingnya penuh dengan pecahan kaca, Ia temui sosok lelaki paru baya yang biasa dipanggil Ayah, dilihatnya tubuh lelaki itu mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, sikap berdirinya tak segagah dahulu, tampak keriput menghiasi tubuhnya, rambutnya yang tak lagi hitam, dan sorot sinar matanya redup seperti ada kesedihan yang mendalam dihati lelaki itu.
Lelaki itu sedang berdiri menatap seorang perempuan yang berada di hadapannya, perempuan dengan vas bunga ditangan kanannya, seakan ingin dilemparkan kepada lelaki tersebut. Perempuan itu adalah seseorang yang dicintai dan telah dipersuntingnya tiga puluhtahun yang lalu. Perbedaan umur yang cukup terlampau jauh membuat sang perempuan masih elok nan cantik, tubuhnya masih terlihat kencang, tak banyak keriput yang hinggap didirinya, rambutnya pun tak banyak yang memutih, dia adalah istri lelaki paru baya segaligus Ibu bagi Dania dan dua orang saudaranya.
Dania manatap Mereka tak percaya, nafasnya tak beraturan, Ia mulai merasakan perih dan sesak dibagian dada sebelah kiri, bibirnya bergetar menahan amarah yang tersampaikan, tak ayal air mata yang menyerupai berlian bergulir merambati pipi Dania.
“Ayah,, Ibu,,” ucap Dania lirih, menatap sosok menatap sepasang Pasutri secara bergantian, Ia mencoba menyekat air mata yang keluar dari matanya.
“Dania” ucap Ibu yang menyadari kedatangan Dania, vas bunga yang di pengang Ibu pun terjatuh, tubuhnya tak mampu menompang, akhirnya Ibu pun duduk, terjatuh. Ayah mencari sosok yang diucapkan oleh Ibunya, Ayah menemukan sosok Dania yang berada disampingnya, Ia terkejut, sangat terkejut.
“Dania, Ayah bisa jelaskan ini semua,” ucap Ayah, perlahan mendekati Dania. Dania mundur selangkah demi selangkah, akhirnya Dania membalikan badannya dan lari sekencang kencangnya keluar rumah.
“Dania mau kemana? Hujan Nak.” teriak Ayah dari dalam rumah, mencoba mengenjar Dania, Ibu hanya duduk terdiam, menangis, menyesali perbuatannya. Dania mengabaikan ucapan Ayahnya. Dania berlari menerobos hujan yang amat deras, hingga seluruh tubuhnya basah, terkena air hujan.
“Dania,, Dania, tunggu Nak” suara Ayah yang masih mengikutinya dari belakang, semua orang yang berada di sekeliling Dania memperhatikan dan mencoba memanggil dirinya. Namun Dania tak memperdulikannya, Ia tetap berlari, tanpa arah, tak tahu mau kemana, Ia hanya ingin menjauh dari rumah dan Ayahnya.
Setelah berlari jauh dari rumahnya dan tak terdengar lagi suara Ayahnya, Ia melihat sebuah gubuk kecil di tengah hamparan sawah luas yang sedang menguning, gubuk itu terasa tak asing di mata Dania, dia pernah ke gubuk ini satu bulan yang lalu bersama keluarga, gubuk ini tak berubah sedikit pun, hanya terlihat sedikit basah. Ia berlari kesana untuk berteduh, menghampiri sebuah bangku panjang, duduk disana, menantap ke depan, ke hamparan sawah, membayangkan yang baru saja terjadi di depan matanya. Dania memang sering mendengar kedua orang tuanya bertengkar pada malam hari saat anak-anaknya sedang tidur, namun Ia tidak menyangka kalau pada akhirnya akan ada pertengkaran sebesar ini, hingga memecahkan beberapa vas bunga dirumah.
Seragam sekolah yang basah, angin yang berhembus cukup kencang diiringi tetesan air yang turun dari langit membuat suasana sekitarnya menjadi membeku. Kini pikirannya pun melayang menelusuri jejak-jejak yang basah dalam benaknya..
********
Hari ini, hari pertama Dania memasuki bangku SMP, pagi hari semua keadaan masih terlihat lancar seperti biasanya, hingga pada malam tepatnya pada suasana makan malam sedang berlangsung, bincang-bincang meja makan pun dimulai, kami memang sering menceritakan segala kejadian hari ini dimeja makan, karena hanya saat itulah semua anggota keluarga bisa berkumpul semua. Ibu menceritakan kondisi keadaan ekonomi yang sedang kurang baik dan Ia pun di tugaskan untuk pergi keluar kota pada esok hari. Kami pun memaklumi kondisi ini. Sari, Dania dan Dani siap jika uang jajannya dikurangi, begitu pun Ayah, Ia siap mengurangi jatah uang untuk merokok. Dan masalah Ibu ditugaskan keluar kota, yah mungkin itu wajar, karena tugas dari atasannya, ketuanya. Namun seiring berjalannya waktu, entah kenapa Ibu semakin sering ditugaskan untuk bolak-balik luar kota dan setiap pulang dari keluar kota Ibu lebih sering menerima telepon secara sembunyi-sembunyi, Dania mengangap hal itu wajar, mungkin rekan kerjanya yang menanyakan tentang pekerjaan. Hingga pada akhirnya terciumlah aroma perselingkuhan Ibunya dengan pria lain. Suatu hari Dania melihat ponsel Ibunya tergeletak di atas meja, Ia memberanikan diri untuk menggenggam ponsel tersebut tanpa sepengetahuan Ibunya, Ia membaca pesan singkat, Ia memperhatikan secara detail tiap kata-katanya dan matanya seakan mau keluar, terbelalak saat menemukan kata “Sayang”. Dania tak percaya dengan apa yang dia lihat, ia sempat beranggapan “mungkin itu salah kirim”, namun saat membuka pesan singkat yang lain kata itu pun masih menghiasi layar ponsel. Ia meyakini aroma perselingkuhan itu bukan sekedar aroma tapi memang nyata adanya perselingkuhan yang terjadi. Pada saat itulah tidur Dania mulai menjadi tak karuan dan mimpi perceraian Ayah dan Ibunya pun mulai menghantuinya. Dania menceritakan mimpinya kepada Ayah dan Kakak perempuan, mimpi tentang pertemuannya dengan Ibu dan pria lain.
Ketika itu Dania yang sedang beradara di kamarnya pun beranjak dari tempat tidurnya, perlahan lahan keluar kamar, saat mendengar suara percakapan gaduh dari ruang keluarga, Ia melihat kedua orangtuanya sedang bersi tegang, langkanya pun terhenti, Ia bersembunyi di balik dinding yang berada cukup dekat dengan posisi orangtuanya, hingga ia dapat menyaksikan secara jelas apa yang sedang terjadi. Suara orangtuanya tak begitu jelas terdengar hingga Dania harus memasang telinganya baik-baik saat mendengar percakapan mereka.
“Mas saya mau cerai, saya mau nikah dengan lelaki lain” ucap Ibu sambil menatap Ayah, dan tak lama seorang lelaki yang masih terlihat tampah, mapan, dan lebih muda dari Ayah datang mengampiri Ibu, lelaki itu mencium kening dan menggandeng tangan Ibu. Ayah melihat perlakuan lelaki itu terhadap Istrinya tak bisa berkutik, diam saja, menatap Ibu dengan wajah sangat kecewa. Dania tak tahan atas sikap lelaki itu bermesraan dengan Ibunya pun beranikan diri untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dania melangkahkan kakinya tanpa ragu menuju Ayah, Ibu dan lelaki muda itu berada. Wajahnya terlihat memerah, seperti api yang menyala-nyala, nafasnya tak beraturan, Ia tak sanggup menahan emosi, langkahnya berhenti tepat disebelah Ayah, dihadapan Ibu dan Lelaki itu.
“Oh,, jadi ini lelaki yang sering menelepon Ibu dan ngirim pesan singkat dengan kata-kata Sayang? Ini Bu?” ucap Dania dengan nada sedikit di tekan pada saat bilang ‘Sayang’, Dania melihat lelaki muda itu dengan tatapan sinis dan tak sedikit pun senyuman hinggap diwajah Dania. Lelaki itu pun melihat Dania tak kalah sinis dan Ia sempat tersenyum tipis saat Dania berbicara.
“Wah hebat yah Ibu, melepaskan Ayah hanya untuk lelaki ini.!!” Lanjut Dania dengan nada semakin tinggi, mata seakan ingin keluar dan sepertinya masih banyak yang ia ingin ucap kan terhadap Ibunya namun Ayahnya lebih dulu memegang tangan Dania, Dania paham itu adalah sebuah kode agar ia berhenti mengatakan yang tak pantas ia katakan kepada Ibunya. Dania menarik nafas panjang panjang dan mengeluarkannya “huff”, ia berkali kali melakukan hal itu.
“Saya tidak akan ceraikan kamu, Bu. Bagaimana dengan anak kita nantinya, kasihan mereka kalau kita bercerai, mereka masih membutuhkan kasih sayang kita.” ucap Ayah memecah kesunyian, tatapan matanya menyapu seluruh isi ruangan, lalu menatap dania yang berada di sampingnya, kedua tangannya merangkul pundak Dania, kini tatapannya berbinar-binar seakan menahan butiran mutiara keluar dari persembunyiannya. Ibu terdiam mendengarkan perkataan Ayah, matanya menatap lelaki muda itu.
“Anak? Kita bagi dua aja untuk hak asuh Anak. Saya akan membawa Dani ikut dengan saya dan lelaki ini.” Ucap Ibu melirik ke arah Ayah lalu mengalihkan pandangannya ke Lelaki Muda itu dengan senyum kecil. Lelaki itu pun tersenyum penuh kemenangan diwajahnya, Ia merangkul Ibunya, namun Ibu mencoba menolaknya, Ia menurunkan tanggan Lelaki Muda itu. Tampak sekali Lelaki Muda itu ingin memamerkan kemesraannya di depan Ayah dan Dania.
“loh ko begitu Bu?! Ibu sekarang berubah, bukan tidak seperti Ibuku yang dulu.! Apa karena Lelaki ini?!” Ucap Dania sambil menggeleng-ngelengkan kepalanya, seakan Ia tak menyangka apa yang telah di katakna Ibunya, nada bicaranya sedikit tinggi saat menyebutkan kalimat “apa karena Lelaki ini” dan tangannya pun reflek menunjuk wajah Lelaki Muda.
“Sabar, sabar, Nak” ucap Ayah yang mencoba menurun tangan Dania dari hadapan Lelaki Muda itu. Ayah pun menjauhkan Dania dari Ibu.
PLAAAKKK..!! sebuah tangan mendarat tapat di pipi Dania membentuk tato berwarna merah. Dania memegangi wajah yang bertato itu, tersentak tak percaya apa yang dilakukan Ibunya. Ayahnya sempat ingin membalas tato tersebut diwajah Istrinya namun seketika tangan Ayah dihalang oleh Lelaki Muda itu.
“Mungkin saya harus memberikan sebuah tamparan agar mulutmu itu tak banyak bicara” ucap Ibu dengan nada kebencian. Ibu beranjak dari tempatnya, membalikan badannya dan pergi ke luar rumah bersama lelaki muda itu. Dania hanya punggung mereka yang seakan menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangan.
Setelah menceritakan semuanya, hati Dania terasa sedikit lega, plong. Kakak permpuannya, Sari. pun ikut menceritakan apa yang dilihatnya selama ini “Iya, Teteh juga pernah liat ibu menerima telepon lama banget pas Ayah piket dikantor” ucap Sari meyakinkan. Ayah hanya tersenyum mendengarkan ucapan Sari.
“Ibumu itu sedang diguna-guna, Ayah sudah cerita masalah ini kepada Nenek dan Uwa, tidak usah khwatir, kamu konsentrasi belajar aja yah nak” ucap Ayah, tatapan matanya melihat kearah depan, tak jelas apa yang dilihatnya.
“Guna-guna?” ucap Dania dan Sari secara serempak dan mengalihkan pandangannya ke arah Ayahnya. Ayahnya hanya mengangguk beberapakali. Tak bisa di percaya, apa yang telah ucapkan oleh Ayahnya tentang guna-guna atau ilmu hitam. Namun ketika hampir setiap malam Dania mendengarkan suara gaduh dari kamar Orang tuanya, melihat Orang tuanya tidur terpisah dan semakin jarang bercengkrama, perlahan-lahan membuat Dania yakini akan guna-guna atau ilmu hitam itu hinggap di Ibunya.
********
“Arrggghhtt” Dania berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan segala beban yang Ia rasakan. Air matanya mulai mengering, Ia menangis tanpa air mata. Ia merebahkan tubuhnya di bangku panjang, yang sedari tadi ditempatinya. Tubuh Dania menggigil, kedinginan. Hembusan angin, membuat tubuhnya menggigil, Ia mencoba menggosok-gosokkan tangannya ke badan, memeluk erat tubuhnya, mencoba menghangatkan dirinya sendiri hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur.
“Dania,, Dania” terdengar suara Ayah yang semakin lama semakin mendekat, Dania membuka matanya saat mendengar suara itu, Ia tak memperdulikan suara ayahnya, Ia tak sanggup berlari untuk menjauh dari Ayahnya, matanya terasa sembab, tubuhnya kini membeku, seluruh badannya terlihat pucat.
Dania melihat kedepan dengan tatapan kosong, melihat hujan sudah mulai reda, langit terlihat sedikit lebih cerah, namun tiupan angin masih sangat kencang.
“Daniiiiiaaaa, Ya Tuhan, kamu pucat sekali Nak” teriak Ayah saat melihat Dania yang terbaring lemas diatas kursi, Ayah berlari menghampiri Dania, memeluk tubuh Dania, mengusap-ngusap wajah dan kepala Dania. Dania tak bisa mengelak, Ia hanya diam tak berdaya.
“Nak, maafkan Ayah, Ayah tak mampu jadi kepala keluarga yang baik,” ucap Ayah sambil mencoba menggendong Dania, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Dania, “Ayo kita pulang nak” ajak Ayah, air mata Ayah pun tumpah saat menggendong Dania, Dania tak tega melihat Ayahnya menangis, Ia mencoba menghapus air mata Ayahnya, Ayahnya tersenyum kepada Dania, Dania mencoba memejamkan mata, mendekap lebih erat di pelukan Ayahnya, Ia merasa sangat nyaman di gendong Ayahnya.
“Ayah, Dania,,” terdengar samar-samar suara langkah kaki yang mendekat dan tiba-tiba saja ada yang menyentuh dahi Dania saat memasuki pintu rumahnya. Dania membuka mata, Ia melihat kakak perempuannya dan adiknya, Sari dan Dani berada di hadapannya, Dania mencoba tersenyum kepada Mereka, Namun Dania tak melihat Ibunya “Kemana Ibunya?” tanya Dania dalam hati. Sari adalah kakak perempuan Dania, Ia berumur tiga tahun lebih tua dari Dania, sekarang Ia duduk di bangku SMA dan Dani adalah adik laki-laki Dania, Ia berumur lima tahun lebih muda dari pada Dania, Ia sekarang duduk di bangku SD.
“Ya Tuhan, Dania badannya panas sekali,” ucap kakak perempuannya setelah memegang dahi Dania.
“Awas, awas Dania mau lewat, Sari buatkan air hangat segera, terus buatkan teh hangat juga untuk Dania” ucap Ayahnya sambil membawa Dania ke kamar, membaringkan Dania diatas kasur, Ayah langsung keluar kamar setelah membaringkan Dania diatas kasur, tak lama Ibu datang membawa air hangat dan teh hangat yang di buatkan oleh Sari, wajah Ibunya terlihat beda dari biasanya, sedikit kusut dan tak bersemangat. Ibu menggantikan baju Dania, setelah itu Ia mengambilkan cangkir berisikan teh hangat yang berada diatas meja, dan membantu meminumkan teh hangat untuk Dania. Tubuh Dania kini sudah sedikit membaik, Ibu beranjak bangun dan keluar kamar Dania setelah mengusap-ngusap rambut dan mencium kening Dania.
Semua anggota keluarga satu persatu masuk dan berkumpul dikamar Dania, mulai dari Ayah, Dani, Sari dan yang terakhir Ibu. Dania menatap satu persatu dari Mereka dengan wajah bertanya-tanya.
“Ibu sudah membicarakan ini pada mba Sari dan adikmu Dani juga Ayahmu” ucap Ibu lirih dengan wajah menunduk dan mata mulai berkaca-kaca, semua pandangan tertuju pada Ibu, Mereka menatap dengan sangat serius.
“Ibu akan menenangkan diri dirumah nenek, di Serang, Banten. Ibu sudah memutuskan akan pergi bersama Dani.” lanjut Ibu sambil melirik Dania, kemudian menatap Dani lekat-lekat. Dania tahu bahwa adiknya Dani itu memang sangat dekat dengan Ibunya, Dania juga tahu kalau Dani adalah anak kesayangan Ibunya, mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya. Sedangkan kakak perempuannya yaitu Sari, dia sangatlah dekat dengan Ayahnya, kalau ada masalah apapun Sari pasti membela Ayahnya, seperti masalah ini, dia sangatlah kontra dengan Ibunya. Namun Dania, dia dekat dengan keduanya, dia tak membela siapapun, ketika terjadi masalah.
“Ibu akan berangkat besok pagi” ucap Ibu memecah lamunan Dania, Dania menangkap tatapan Ibunya yang sedang menatapnya, Ibu tersenyum kecil kepada Dania, Dania mencoba mengalihkan pandangannya, tak sanggup menatap mata Ibunya.
Esokan harinya, dipagi buta, Ibu membangunkan Dania yang masih tertidur di dalam kamarnya, Ibu berpamitan mulai dari Ayah, Sari dan Dania. Ibu berpesan kepadaku agar menjaga diri baik-baik. Kami menghantarkan Ibu sampai terminal, Dania melihat Ibunya menangis dibalik jendela bis, Dania ingin sekali menghapus air mata Ibunya, Ia tak ingin Ibunya menanggis. “Rencana Allah itu lebih indah dari pada rencana manusia” ucap Dania dalam hati, mencoba menguatkan diri.
***********
(Satu bulan kemudian)
Ting tong,, ting tong,, suara bel dirumah Dania berbunyi. Dania sedang asik membaca novel dikamarnya pun langsung keluar kamar, Dania melihat Ayahnya sedang duduk di depan televisi dan kakak perempuannya sedang memasak di dapur. Dania berjalan menghampiri Ayahnya, Ia menatap Ayahnya lekat-lekat,bermaksud agar Ayahnya sadar kalau sedang di perhatikan. Namun Ayahnya tak menyadari bahwa Dania sedang memperhatikan. Hingga akhirnya Dania memutuskan untuk memanggil Ayahnya.
“Ssstt,, sstt,, Ayah,” ucap Dania dengan nada bisik-bisik, Ayah mencoba mencari sumber suara tersebut, hingga akhirnya Ayah melihat Dania yang sedang tersenyum kepadanya,
“Apa Dania?” jawab ayah sambil tersenyum kepadanya
“Itu ada tamu” ucap Dania,
“Udah kamu aja yang membukakan pintu” jawab Ayah sambil mengerutkan dahinya dan mengalihkan pandangannya kearah televisi.
“Ih engga mau ah, Ayah aja yang membukakan pintu, Dania tak mengenakan kerudung khawatir lama jika Dania yang membukakan pintu” ucap Dania sambil melirik ruang tamu”
Akhirnya Ayah pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri ruang tamu, Dania mengikuti Ayahnya dari belakang dengan wajah penasaran, Ia bersembunyi di balik dinding, hingga wajahnya saja yang terlihat. Ayah mencoba membukakan pintu “krek” pintu dibuka perlahan-lahan, terlihat disana seorang wanita paruh baya berkerudung, mengenakan baju batik warna cokelat dan celana bahan warna cokelat, bersama salah seorang anak laki-laki dengan potongan rambut pendek, mengenakan baju kotak-kotak berwarna biru dan celana levis. Diluar tampak hujan deras, baju yang dikenakan keduanya terlihat sedikit basah. Dania melihat Ayahnya sedikit mematung setelah membukakan pintu tersebut, wanita paruh baya dan anak laki-laki itu pun mencoba tersenyum kepada Ayah dan Dania, Dania mencoba mengecilkan pupil matanya matanya agar terlihat lebih fokus.
“Ibu, Dani,,” teriak Dania saat menyadari itu adalah Ibu dan Adiknya, Dania berlari menghampiri Mereka dan memeluk hangat Ibunya, sudah lama sekali tidak menikmati pelukan sehangat ini, air matanya pun mulai mengalir membasahi pipinya, begitu pun Ibunya. Ibu pun mencium pipi Dania beberapakali, hingga wajah Dania sedikit merah dan basah akan air mata Ibunya.
“Udah Nak, jangan nangis, Ibu ada disini” ucap Ibu sambil menghapus air mata Dania dan memeluk Dania kembali. Dania sempat melirik Ayahnya, Ayahnya masih diam terpaku melihat Ibu dan anak laki-lakinya pulang kerumah, mata Ayah mulai berkaca-kaca, terlihat bahwa Ayah menahan tangisannya. Sedangkan Dani mulai mengusap-ngusapkan matanya dengan kedua tangan, matanya memerah, sempat terdengar beberapakali isakan tanggis yang tertahan, adiknya menangis.
“Ibu,,” terdengar suara dari belakang Dania, Dania membalikan posisi badannya, menangkap sosok kakak perempuannya yang mengenakan celemek dan memegang serbet, masih diam terpaku menatap Ibu, hingga serbet di tanggannya pun terjatuh, Ibu pun menatapnya balik dengan bibir yang bergetar dan air mata semakin deras. Dania pun mulai melepaskan diri secara perlahan dari pelukan Ibunya. Tatapan kami semua tertuju pada Sari, tetehku.
“Sari,, anakku,,” ucap Ibu dengan nada bergetar dan menyeka air mata yang ingin keluar dari matanya.
“Sini Nak,,” lanjut Ibu, Ibu membuka tanganya, menandakan ingin memeluk.
“Ibu,, benerkah ini Ibu?” ucap Sari dengan bertanya-tanya, perlahan-lahan ia menghampiri Ibunya, mata mulai memerah, air matanya jatuh setetes demi setetes, Sari jatuh di pelukan Ibunya.
Semenjak hari itu semua keadaan mulai membaik, tak pernah terdengar lagi suara gaduh pada malam hari, dan Ibu pun sudah tidak menerima telepon secara sembunyi-sembunyi. Namun Dania sedikit trauma setiap Ibunya menerima telepon dengan siapa pun secara sembunyi-sembunyi. Dania khawatir kejadian seperti ini akan terulang kembali. Waktu terus berjalan kejadian tersebut menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan oleh Dania dan keluarganya.
****
Hari ini Ayah dan Ibu mengajak kami, sekeluarga bertamasya ke Gubuk tua di tengah hamparan pematang sawah. Ayah dan Ibu berada duduk berdua dikursi, mempersiapkan makan siang yang dibawa dari rumah, sedangkan Sari, Dania dan Dani, berlarian ke kesana kemari di tengah hamparan sawah.
“Sari,, Dania,, Dani,, sini Nak” ucap Ibu yang terlihat selesai mempersiapkan makan siang. “Iya sini,, kita makan siang dulu,, liat nih Ibu memasak ikan bakar.” lanjut Ayah sambil menunjukan ikan bakarnya. Sari, Dania, dan Dani berlari menghampiri Ayah dan Ibu.
“Nak,, lihat itu” ucap Ibu melirik anak-anaknya yang berada bersebelahan dengan Ayah dan Ibunya, Ibu mengalihkan pandangannya ke arah depan. Sari, Dania, Dani mengikuti arah sorot mata Ibu.
“Subhanallah” ucap Mereka bersamaan, tatapan mata mereka berkaca-kaca, kagum. saat melihat pelangi yang terlihat jelas di depan mata mereka.
“Pelangi itu muncul setelah hujan” ucap Ayah sembari melirik Ibu dan tersenyum, terlihat wajah Ayah yang sangat bahagia, Ibu pun sadar dilirik Ayah dan membalas senyuman itu.
“Ciyyee yang udah baikan” ucap Sari saat melihat tingkah laku Ayah dan Ibunya. Ayah dan Ibu terlihat kikuk, Mereka langsung memeluk Anak-anaknya sambil menatap pelangi.
“Iya, pelangi itu muncul setelah hujan dan hujan itu pasti ada redanya, seperti masalah pasti akan berakhir dan pasti berakhir dengan indah, seperti ini.” ucap Dania dalam hati, mata Dania mulai berkaca-kaca, sebelum butiran mutiara itu tumpah di pipinya, Ia segera menyekanya. Ia melirik Ayah dan Ibunya saling pandang-pandang. Dania senang melihat kedua orang tuanya seperti ini, akur dan damai.
ceritanya bagus mbak ^_^
ReplyDeletecuman font dan backgroundnya agak kurang pas. saya kesulitan mebacanya
terimakasih sarannya.. :))
ReplyDeletetidak ada hujan yang turun selamanya :)
ReplyDeletetulisan nya keren, fontnya agak silau^^
ReplyDelete